APLIKASI BEBERAPA JENIS PUPUK ORGANIK DAN MINERAL ALAM TERHADAP BERBAGAI VARIETAS TEMULAWAK
(Curcuma xanthorriza Roxb.)
(Curcuma xanthorriza Roxb.)
PENDAHULUAN
Lahan di Indonesia secara tidak langsung sering digunakan sebagai media
penanaman tanam pangan, karena lahan yang sebagian besar adalah tanah,
mengandung unsur-unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Akan tetapi, saat ini
banyak terdapat lahan-lahan yang mengalami kerusakan seperti sifat fisik tanah
yang menjadi keras, menggumpal, kering, dan menurunnya tingkat kesuburan lahan.
Hal ini membuat lahan tidak lagi menjadi media tanam yang baik bagi pertumbuhan
tanaman, karena media yang baik harus memiliki persyaratan-persyaratan sebagai
tempat berpijak tanaman, memiliki kemampuan mengikat air dan menyuplai unsur
hara yang dibutuhkan tanaman, mampu mengontrol kelebihan air (drainase) serta
memiliki sirkulasi dan ketersediaan udara (aerasi) yang baik, dapat
mempertahankan kelembaban di sekitar akar tanaman dan tidak mudah lapuk atau
rapuh (Sulistianingrum,
2013).
Terjadinya lahan-lahan kritis, diakibatkan karena penggunaan upuk anorganik
yang semakin meningkat. Penggunaan pupuk anorganik menjadi pilihan, karena
lebih mudah menggunakan jumlah pupuk sesuai kebutuhan tanaman, hara yang
diberikan cepat tersedia, serta hasil yang didapat jauh lebih baik dari pada
penggunaan pupuk organik. Hal ini telah membudidaya pada petani yang hanya
terfokus terhadap produksi tanpa menghiraukan kualitas pertumbuhan tanaman dan
lingkungan sekitar. Pemakaian pupuk kimia secara terus menerus menyebabkan
ekosistem biologi tanah menjadi tidak sembang, sehingga tujuan pemupukan untuk
mencukupkan unsur hara di dalam tanah tidak tercapai yang berdampak terhadap
pertumbuhan tanaman. Untuk mengatasi hal ini, maka perlu adanya penggunaan
media campuran dengan bahan-bahan organik, seperti pupuk organik dan hayati.
Kegunaan
utama rimpang temulawak adalah sebagai bahan baku obat yang dapat merangsang sekresi
empedu dan pankreas. Sebagai obat fitofarmaka, temulawak bermanfaat untuk
mengobati penyakit saluran pencernaan, kelainan hati, kandung empedu, pankreas,
usus halus, tekanan darah tinggi, kontraksi usus, TBC, sariawan dan dapat
digunakan sebagai tonikum. Secara tradisional, banyak digunakan untuk mengobati
diare, desentri, wasir, bengkak karena infeksi, eksim, cacar, jerawat, sakit
kuning, sembelit, kurang nafsu makan, kejang-kejang, radang lambung, kencing
darah, ayan, dan kurang darah. Simplisia temulawak digunakan sebagai bahan baku
obat tradisional maupun fitofarmaka karena rimpangnya mengandung protein pati,
zat warna kuning kurkuminoid, dan minyak atsiri. Rimpang induk temulawak
berbentuk bulat seperti telur dan berwarna kuning tua atau cokelat kemerahan
dimana bagian dalamnya berwarna jingga kecokelatan (Rukmana, 1995).
Produksi dan mutu temulawak sangat
dipengaruhi oleh teknologi bu-didaya, meliputi pemilihan nomor/va-rietas unggul
dan amelioran yang sesuai. Setiap varietas mempunyai ka-rakter yang berbeda,
sehingga respon-nya terhadap lingkungan tumbuh dan input yang diberikanpun
pengaruhnya tidak sama. Produksi dari cara budi-daya organik pada umumnya lebih
rendah dibandingkan dengan cara bu-didaya an-organik. Namun budidaya organik
mempunyai nilai lebih karena diharapkan terhindar dari cemaran ba-han kimia
yang berbahaya. Hasil pe-nelitian ini akan menjadi petunjuk untuk menerapkan
teknologi budidaya organik yang standar berdaya hasil dan mutu tinggi. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui tingkat produksi dan mutu rimpang tiga nomor
harapan temulawak terhadap pemupukan organik.
Pupuk organik merupakan pupuk yang
berasal dari bahan-bahan organik yang diurai (dirombak) oleh mikroba, yang
hasil akhirnya dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Bahan-bahan yang termasuk dalam pupuk
organik, antara lain pupuk kandang, kascing, sekam padi, kompos, limbah kota
dan lain sebagainya. Pupuk organik juga sangat penting artinya sebagai penyangga
sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, sehingga dapat meningkatkan efisiensi
pupuk dan produktivitas lahan, serta sangat bermanfaat bagi peningkatan
produksi pertanian baik kualitas maupun kuatintas, dan mengurangi pencemaran
lingkungan (Simanungkalit, 2006).
Klasifikasi
tanaman temulawak adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi :
Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Famili :
Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma xanthorrhiza ROXB (Sulistianingrum,
2013).
Tanaman
terna berbatang semu dengan tinggi hingga lebih dari 1m tetapi kurang dari 2m,
berwarna hijau atau coklat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan
bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2 – 9 helai
dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau
coklat keunguan terang sampai gelap, panjang daun 31 – 84cm dan lebar 10 –
18cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43 – 80cm. Perbungaan lateral,
tangkai ramping dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai 9 – 23cm dan lebar 4
– 6cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan
mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjang 8 – 13mm, mahkota bunga
berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4.5cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih
dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1.25 – 2cm dan lebar
1cm (Simanungkalit, 2006).
Salah satu komponen budidaya organik adalah penggunaan pupuk yang
tidak mencemari lingkungan se-perti pupuk organik, pupuk bio dan pu-puk alam.
Pupuk bio yang dimaksud disini adalah pupuk yang bersumber dari limbah tumbuhan
maupun hewan (hasil pangkasan tanaman, serasah, sampah tumbuhan, kotoran hewan,
dan sebagainya), pupuk bio adalah pupuk yang secara langsung maupun tidak
langsung bersumber dari mikroorganis-me (penambat N, peraut P dan seba-gainya)
sedangkan pupuk alam adalah pupuk yang bersumber dari hasil per-tambangan yang
sudah tersedia di alam (fosfat alam, zeolit, kapur dan sebagainya) (Sulistianingrum, 2013).
Balittro
telah menguji sebanyak 6 aksesi sebagai calon varietas unggul nasional temulawak,
ke enam aksesi ini merupakan hasil seleksi dari 20 aksesi yang berasal dari
wilayah Indonesia. Berdasarkan hasil uji multi lokasi ke 6 aksesi temulawak
tersebut terpilih 3 aksesi temulawak
yang diusulkan menjadi calon varetas unggul nasional (Simanugkalit, 2006).
Hasil penelitian Yusron dan Januwati (2007) pada jenis tanah
Andosol menunjukkan bahwa penambahan pupuk bio sebesar 45 kg/ha dan 90 kg/ha
mampu mening-katkan produktivitas temulawak di bawah tegakan sengon
masing-masing sebesar 27,5 % dan 34 % dibandingkan tanpa pupuk bio. Pupuk bio
yang dibe-rikan mengandung Azospirillum lipoferum Beijerincki, Azotobacter
vinelandii Beijerincki, Aeromonas punctata Zimmermann dan Aspergillus
niger van Tiegham. Namun pemberian pupuk bio tersebut belum mampu
me-ningkatkan produksi rimpang temu-lawak pada tingkat optimal (20 ton/ha).
Akan tetapi masih lebih tinggi (14,04 ton/ha) dibandingkan dengan produksi
rata-rata nasional (10,7 ton/ha) (Direk-torat Aneka Tanaman, 2000). Begitu pula
hasil penelitian Rahardjo dan Ajijah (2007) menunjukkan bahwa pu-puk organik
dan pupuk alam saja (bo-kashi 10 ton/ha + pupuk bio 90 kg/ha + zeolit 300 kg/ha
+ pupuk fosfat alam 300 kg/ha.) hanya mampu menghasil-kan rimpang temulawak
sebesar 14,21 - 16,59 ton/ha. Pada penelitian tersebut terlihat bahwa calon
varietas unggul temulawak Balittro 1 mempunyai res-pon lebih tinggi terhadap
pemupukan organik dibandingkan dengan Balittro 2 dan Balittro 3 (Darusman
dkk, 2007)
APLIKASI BEBERAPA JENIS PUPUK ORGANIK DAN
MINERAL ALAM TERHADAP BERBAGAI VARIETAS
TEMULAWAK
(Curcuma xanthorriza Roxb.)
(Curcuma xanthorriza Roxb.)
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cibinong, tipe iklim C2
menurut Oldeman (1975) atau tipe iklim A menurut Schimdt and Fer-guson (1951),
dengan sifat fisik dan kimia tanah seperti pada Tabel 1, serta kandungan hara
pupuk bokashi yang dipergunakan (Tabel 2). Percobaan menggunakan 3 nomor
harapan temu-lawak yaitu, Balittro 1 (B1), Balittro 2 (B2), dan Balittro 3 (B3)
dengan ka-rakterisasi seperti pada Tabel 3; per-lakuan pemupukan organik
terdiri dari; bokashi 10 ton/ha, pupuk bio 90 kg/ha, zeolit 300 kg/ha, dan
pupuk fosfat alam 300 kg/ha. Bokashi dibe-rikan dua minggu sebelum tanam,
sedangkan pupuk bio, zeolit dan fosfat alam diberikan bersamaan pada waktu
tanam. Penelitian menggunakan Ran-cangan Acak Kelompok dengan 9 ulangan. Ukuran
petak percobaan ada-lah 30 m2 (6 m x 5 m), dengan jarak tanam 75 cm x 50 cm,
setiap petak terdapat 80 tanaman.

Tanaman dipanen pada umur 9 bulan setelah tanam (BST). Peubah
yang diamati adalah : tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah rimpang induk,
diameter rimpang induk, hasil rimpang segar, hasil simplisia kering, dan mutu
simplisia terdiri dari; kadar air, kadar sari larut air dan larut alkohol,
kadar kadar abu, kadar serat, kadar
pati, ka-dar atsiri, ekstrak, kurkuminoid dan kadar xanthorrizol. Analisis
xanthor-rizol dan kurkuminoid pada simplisia menggunakan Gas kromatografi.

Hasil
dan Pembahasan
Pola
pertumbuhan tanaman dili-hat dari tinggi tanaman, nomor harapan temulawak
Balittro 2 pada awal per-tumbuhan, lebih rendah dibandingkan Balittro 1 dan
Balittro 3. Namun pada pertengahan dan akhir pertumbuhan, tinggi ketiganya
tidak menunjukkan perbedaan. Secara genetik, ketiga no-mor harapan tersebut
mempunyai ting-gi tanaman relatif tidak berbeda. Pola pertumbuhan tinggi
tanam-an membentuk kurva sigmoid, seperti juga pada tanaman semusim jenis lain.
Rata-rata jumlah anakan per rumpun berkisar antara 3,81 - 4,01 anakan.
Jumlah anakan dan rimpang induk ketiga nomor harapan tidak
me-nunjukkan perbedaan. Jumlah anakan merupakan gambaran jumlah rimpang induk,
karena setiap terbentuk tunas baru akan membentuk individu baru berupa anakan.

Jumlah, diameter rimpang in-duk dan
bobot simplisia per tanaman tidak menunjukkan perbedaan nyata antara ketiga
nomor harapan temu-lawak. Diameter rimpang induk me-nunjukkan ukuran besarnya
umbi te-mulawak. Semakin besar diameter rim-pang induk semakin besar ukuran
rim-pang tersebut. Ukuran diameter rim-pang induk ketiga nomor harapan berkisar
antara 65,32 – 66,88 mm.
Ukuran rimpang induk pada nomor
harapan Balittro 1 dan Balittro 3 cenderung lebih besar dibandingkan dengan
Bolittro 2, namun jumlah rim-pang induk Balittro 2 cenderung lebih tinggi.
Namun ketiga parameter ter-sebut tidak berbeda nyata. Oleh karena itu hasil
simplisia kering per tanaman ketiga nomor harapan tersebut juga tidak berbeda
nyata. Hasil simplisia kering per tanaman antara ke tiga nomor temulawak
kisarannya adalah 196,26 – 197,16 g/tanaman.
Hasil panen rimpang segar te-mulawak
nomor harapan Balittro 1 mencapai 16,59 ton/ha, le-bih tinggi dibandingkan
dengan hasil rimpang Balittro 2 (14,21 ton/ha), na-mun tidak berbeda nyata
dibandingkan dengan Balittro 3 (15,96 ton/ha).
Perbedaan ini diduga disebab-kan oleh
perbedaan ukuran rimpang induk nomor harapan Balittro 1 dan Balittro 3 yang
cenderung lebih besar dibandingkan dengan ukuran rimpang induk Balittro 2 serta
sifat genetik yang berbeda dari ketiga nomor harapan ter-sebut. Tingkat
produksi rimpang segar nomor harapan temulawak Balittro 1 lebih unggul
dibandingkan dengan no-mor harapan Balittro 2.

Mutu simplisia dilihat dari ka-dar sari larut air nomor harapan
Ba-littro 1 cenderung lebih tinggi diban-dingkan dengan Balittro 2 dan Balittro
3, demikian juga kadar sari larut alko-hol.Sehingga mutu simpli-sia berdasarkan
kadar sari, Balittro 1 lebih unggul dibandingkan Balittro 2. Namun kadar minyak
atsiri Balittro 2 lebih tinggi dibandingkan dengan Ba-littro 1 dan Balittro 3.
Mutu simplisia berdasarkan kadar sari, berbanding terbalik dengan
kadar minyak atsirinya, apabila sim-plisia berkadar sari tinggi maka kadar
minyak atsirinya rendah dan sebalik-nya apabila kadar minyak atsirinya tinggi
maka kadar sarinya menjadi lebih rendah. Namun kondisi demi-kian tidak selalu
terjadi pada tanaman, seperti halnya pada bangle. Mutu simplisia lebih banyak
ditentukan oleh faktor genetik tanaman.

Berdasarkann kadar xanthorri-zol dan kurkuminoid di dalam
simpli-sia rimpamg kering temulawak, maka dapat dihitung hasil xanthorrizol dan
kurkuminoid temulawak dalam satu hektar. Xanthorrizol yang dihasilkan nomor
harapan Balittro 1, Balittro 2 dan Balittro 3 berturut-turut adalah 52,48 kg,
45,99 kg dan 39,36 kg/ha. Produksi xanthorrizol ter-tinggi diperoleh dari
Balittro 1 dan terendah adalah Balittro 3. Hasil xanthorrizol dipengaruhi oleh
kadar xanthorrizol dan produksi simplisia kering temulawak.
Kurkuminoid yang dihasilkan nomor harapan Balittro 1, Balittro 2
dan Balittro 3 berturut-turut adalah 70,52 kg, 52,92 kg dan 63,96 kg/ha.
Kurkuminoid tertinggi diha-silkan Balittro 1 dan terendah Balittro 2, hal ini
disebabkan oleh produksi rimpang dan kadar kurkuminoid Balit-tro 2 relatif
lebih rendah dibandingkan dengan Balittro1 dan Balittro 3.
KESIMPULAN
1. Produksi rimpang segar dengan perlakuan pupuk organik belum dapat
mencapai produksi optimal (20 t/ha), namun produksi rimpang masih lebih tinggi
dibandingkan dengan produksi rata-rata nasional. Produksi rimpang segar, kadar
dan produksi xanthorizol, serta kadar dan produksi kurkuminoid temulawak nomor
harapan Balittro 1 lebih tinggi dibandingkan dengan Ba-littro 2 dan Balittro 3.
2.
Nomor harapan
Balittro 1 lebih unggul produksi dan mutunya diban-dingkan dengan Balitro 2 dan
Balittro 3 dengan perlakuan pupuk organik, oleh karena itu nomor harapan
Balittro 1 dapat menjadi calon varietas yang dapat digunakan dalam budidaya organik.
3. Dari hasil penelitian yang dilakukan pemberian
beberapa pupuk organik dan mineral alam tidak berpengaruh nyata terhadap
rimpang temulawak tetapi berpengaruh terhadap ketiga varietas temulawak
DAFTAR PUSTAKA
Darusman,
L. K., B. P. Priosoeryanto, M. Hasanah, M.Rahardjo dan E. D.
Purwakusumah. 2007. Potensi temulawak
terstandar untuk menanggulangi flu burung, Laboran Hasil Penelitian, Institut
Pertanian Bogor bekerja sama dengan Badan Litbang Pertanian, 46 hlm.
Premono, M.E., 1997. Pendugaan pela-rutan fosfat oleh
mikroorganisme dengan menggunakan indeks pela-rutan. Buletin Pusat Penelitian
dan Pengembangan Gula Indonesia. No. 145 : 1-9.
Pribadi, E.R. dan Mono. R. 2007. Kajian Ekonomi Budidaya Organik
Dan Konvensional Pada 3 Nomor Harapan Temulawak (Curcuma Xanthorhiza Roxb). Bul.
Littro. Vol. XVIII No. 1 Hal 73-85
Rahardjo, M. 2001. Karakteristik beberapa bahan tanaman obat
keluarga Zingiberaceae. Buletin Plasma Nutfah, Badan Litbang Pertanian,
7:25-30.
Rahardjo, M, dan N. Ajijah. 2007. Pengaruh Pemupukan Organik
Terhadap Produksi dan Mutu Tiga Nomor Harapan Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb.)
di Cibinong Bogor. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor
Rukmana,
R. 1995.
Temulawak Tanaman Rempah dan Obat.Kanisius. Yogyakarta
Sulistianingrum, P. 2013. Pengaruh Campuran Pupuk Organik dan
Hayati Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jahe (Zingibet officinale).
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
Simanungkalit, R.D.M.2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor:
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
Widowati, L.R., dan W. Hartatik. 2012. Pupuk Kandang. Balai
Penelitian Tanah.
Yusron, M. dan M. Januwati, 2005. Pengaruh pupuk bio terhadap
per-tumbuhan dan produksi temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) di bawah
tegakan sengon. Makalah di-sampaikan pada Konggres Nasional Ke-2 Obat Tradisional
Indonesia di Bandung, 12-14 Januari 2005, 9 hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar