Senin, 12 September 2016

APLIKASI BEBERAPA JENIS PUPUK ORGANIK DAN MINERAL ALAM TERHADAP BERBAGAI VARIETAS TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza Roxb.)

APLIKASI BEBERAPA JENIS PUPUK ORGANIK DAN MINERAL ALAM TERHADAP BERBAGAI VARIETAS TEMULAWAK
 (Curcuma xanthorriza Roxb.)
PENDAHULUAN
Lahan di Indonesia secara tidak langsung sering digunakan sebagai media penanaman tanam pangan, karena lahan yang sebagian besar adalah tanah, mengandung unsur-unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Akan tetapi, saat ini banyak terdapat lahan-lahan yang mengalami kerusakan seperti sifat fisik tanah yang menjadi keras, menggumpal, kering, dan menurunnya tingkat kesuburan lahan. Hal ini membuat lahan tidak lagi menjadi media tanam yang baik bagi pertumbuhan tanaman, karena media yang baik harus memiliki persyaratan-persyaratan sebagai tempat berpijak tanaman, memiliki kemampuan mengikat air dan menyuplai unsur hara yang dibutuhkan tanaman, mampu mengontrol kelebihan air (drainase) serta memiliki sirkulasi dan ketersediaan udara (aerasi) yang baik, dapat mempertahankan kelembaban di sekitar akar tanaman dan tidak mudah lapuk atau rapuh (Sulistianingrum, 2013).
Terjadinya lahan-lahan kritis, diakibatkan karena penggunaan upuk anorganik yang semakin meningkat. Penggunaan pupuk anorganik menjadi pilihan, karena lebih mudah menggunakan jumlah pupuk sesuai kebutuhan tanaman, hara yang diberikan cepat tersedia, serta hasil yang didapat jauh lebih baik dari pada penggunaan pupuk organik. Hal ini telah membudidaya pada petani yang hanya terfokus terhadap produksi tanpa menghiraukan kualitas pertumbuhan tanaman dan lingkungan sekitar. Pemakaian pupuk kimia secara terus menerus menyebabkan ekosistem biologi tanah menjadi tidak sembang, sehingga tujuan pemupukan untuk mencukupkan unsur hara di dalam tanah tidak tercapai yang berdampak terhadap pertumbuhan tanaman. Untuk mengatasi hal ini, maka perlu adanya penggunaan media campuran dengan bahan-bahan organik, seperti pupuk organik dan hayati.
Kegunaan utama rimpang temulawak adalah sebagai bahan baku obat yang dapat merangsang sekresi empedu dan pankreas. Sebagai obat fitofarmaka, temulawak bermanfaat untuk mengobati penyakit saluran pencernaan, kelainan hati, kandung empedu, pankreas, usus halus, tekanan darah tinggi, kontraksi usus, TBC, sariawan dan dapat digunakan sebagai tonikum. Secara tradisional, banyak digunakan untuk mengobati diare, desentri, wasir, bengkak karena infeksi, eksim, cacar, jerawat, sakit kuning, sembelit, kurang nafsu makan, kejang-kejang, radang lambung, kencing darah, ayan, dan kurang darah. Simplisia temulawak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional maupun fitofarmaka karena rimpangnya mengandung protein pati, zat warna kuning kurkuminoid, dan minyak atsiri. Rimpang induk temulawak berbentuk bulat seperti telur dan berwarna kuning tua atau cokelat kemerahan dimana bagian dalamnya berwarna jingga kecokelatan (Rukmana, 1995).
Produksi dan mutu temulawak sangat dipengaruhi oleh teknologi bu-didaya, meliputi pemilihan nomor/va-rietas unggul dan amelioran yang sesuai. Setiap varietas mempunyai ka-rakter yang berbeda, sehingga respon-nya terhadap lingkungan tumbuh dan input yang diberikanpun pengaruhnya tidak sama. Produksi dari cara budi-daya organik pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan cara bu-didaya an-organik. Namun budidaya organik mempunyai nilai lebih karena diharapkan terhindar dari cemaran ba-han kimia yang berbahaya. Hasil pe-nelitian ini akan menjadi petunjuk untuk menerapkan teknologi budidaya organik yang standar berdaya hasil dan mutu tinggi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat produksi dan mutu rimpang tiga nomor harapan temulawak terhadap pemupukan organik.
Pupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik yang diurai (dirombak) oleh mikroba, yang hasil akhirnya dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Bahan-bahan yang termasuk dalam pupuk organik, antara lain pupuk kandang, kascing, sekam padi, kompos, limbah kota dan lain sebagainya. Pupuk organik juga sangat penting artinya sebagai penyangga sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pupuk dan produktivitas lahan, serta sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuatintas, dan mengurangi pencemaran lingkungan             (Simanungkalit, 2006).
Klasifikasi tanaman temulawak adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma xanthorrhiza ROXB (Sulistianingrum, 2013).
Tanaman terna berbatang semu dengan tinggi hingga lebih dari 1m tetapi kurang dari 2m, berwarna hijau atau coklat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2 – 9 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang daun 31 – 84cm dan lebar 10 – 18cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43 – 80cm. Perbungaan lateral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai 9 – 23cm dan lebar 4 – 6cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjang 8 – 13mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4.5cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1.25 – 2cm dan lebar 1cm (Simanungkalit, 2006).
Salah satu komponen budidaya organik adalah penggunaan pupuk yang tidak mencemari lingkungan se-perti pupuk organik, pupuk bio dan pu-puk alam. Pupuk bio yang dimaksud disini adalah pupuk yang bersumber dari limbah tumbuhan maupun hewan (hasil pangkasan tanaman, serasah, sampah tumbuhan, kotoran hewan, dan sebagainya), pupuk bio adalah pupuk yang secara langsung maupun tidak langsung bersumber dari mikroorganis-me (penambat N, peraut P dan seba-gainya) sedangkan pupuk alam adalah pupuk yang bersumber dari hasil per-tambangan yang sudah tersedia di alam (fosfat alam, zeolit, kapur dan sebagainya) (Sulistianingrum, 2013).
Balittro telah menguji sebanyak 6 aksesi sebagai calon varietas unggul nasional temulawak, ke enam aksesi ini merupakan hasil seleksi dari 20 aksesi yang berasal dari wilayah Indonesia. Berdasarkan hasil uji multi lokasi ke 6 aksesi temulawak tersebut terpilih 3 aksesi temulawak yang diusulkan menjadi calon varetas unggul nasional (Simanugkalit, 2006).
Hasil penelitian Yusron dan Januwati (2007) pada jenis tanah Andosol menunjukkan bahwa penambahan pupuk bio sebesar 45 kg/ha dan 90 kg/ha mampu mening-katkan produktivitas temulawak di bawah tegakan sengon masing-masing sebesar 27,5 % dan 34 % dibandingkan tanpa pupuk bio. Pupuk bio yang dibe-rikan mengandung Azospirillum lipoferum Beijerincki, Azotobacter vinelandii Beijerincki, Aeromonas punctata Zimmermann dan Aspergillus niger van Tiegham. Namun pemberian pupuk bio tersebut belum mampu me-ningkatkan produksi rimpang temu-lawak pada tingkat optimal (20 ton/ha). Akan tetapi masih lebih tinggi (14,04 ton/ha) dibandingkan dengan produksi rata-rata nasional (10,7 ton/ha) (Direk-torat Aneka Tanaman, 2000). Begitu pula hasil penelitian Rahardjo dan Ajijah (2007) menunjukkan bahwa pu-puk organik dan pupuk alam saja (bo-kashi 10 ton/ha + pupuk bio 90 kg/ha + zeolit 300 kg/ha + pupuk fosfat alam 300 kg/ha.) hanya mampu menghasil-kan rimpang temulawak sebesar 14,21 - 16,59 ton/ha. Pada penelitian tersebut terlihat bahwa calon varietas unggul temulawak Balittro 1 mempunyai res-pon lebih tinggi terhadap pemupukan organik dibandingkan dengan Balittro 2 dan Balittro 3          (Darusman dkk, 2007)

APLIKASI BEBERAPA JENIS PUPUK ORGANIK DAN MINERAL ALAM TERHADAP BERBAGAI VARIETAS TEMULAWAK
 (Curcuma xanthorriza Roxb.)

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cibinong, tipe iklim C2 menurut Oldeman (1975) atau tipe iklim A menurut Schimdt and Fer-guson (1951), dengan sifat fisik dan kimia tanah seperti pada Tabel 1, serta kandungan hara pupuk bokashi yang dipergunakan (Tabel 2). Percobaan menggunakan 3 nomor harapan temu-lawak yaitu, Balittro 1 (B1), Balittro 2 (B2), dan Balittro 3 (B3) dengan ka-rakterisasi seperti pada Tabel 3; per-lakuan pemupukan organik terdiri dari; bokashi 10 ton/ha, pupuk bio 90 kg/ha, zeolit 300 kg/ha, dan pupuk fosfat alam 300 kg/ha. Bokashi dibe-rikan dua minggu sebelum tanam, sedangkan pupuk bio, zeolit dan fosfat alam diberikan bersamaan pada waktu tanam. Penelitian menggunakan Ran-cangan Acak Kelompok dengan 9 ulangan. Ukuran petak percobaan ada-lah 30 m2 (6 m x 5 m), dengan jarak tanam 75 cm x 50 cm, setiap petak terdapat 80 tanaman.
Sifat fisik dan kimia tanah di Cibinong Bogor










Tanaman dipanen pada umur 9 bulan setelah tanam (BST). Peubah yang diamati adalah : tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah rimpang induk, diameter rimpang induk, hasil rimpang segar, hasil simplisia kering, dan mutu simplisia terdiri dari; kadar air, kadar sari larut air dan larut alkohol, kadar  kadar abu, kadar serat, kadar pati, ka-dar atsiri, ekstrak, kurkuminoid dan kadar xanthorrizol. Analisis xanthor-rizol dan kurkuminoid pada simplisia menggunakan Gas kromatografi.
Karakter agronomis tanaman temulawak Balittro 1, Balittro 2 dan Balittro 3






Hasil dan Pembahasan
Pola pertumbuhan tanaman dili-hat dari tinggi tanaman, nomor harapan temulawak Balittro 2 pada awal per-tumbuhan, lebih rendah dibandingkan Balittro 1 dan Balittro 3. Namun pada pertengahan dan akhir pertumbuhan, tinggi ketiganya tidak menunjukkan perbedaan. Secara genetik, ketiga no-mor harapan tersebut mempunyai ting-gi tanaman relatif tidak berbeda. Pola pertumbuhan tinggi tanam-an membentuk kurva sigmoid, seperti juga pada tanaman semusim jenis lain. Rata-rata jumlah anakan per rumpun berkisar antara 3,81 - 4,01 anakan.
Jumlah anakan dan rimpang induk ketiga nomor harapan tidak me-nunjukkan perbedaan. Jumlah anakan merupakan gambaran jumlah rimpang induk, karena setiap terbentuk tunas baru akan membentuk individu baru berupa anakan.
Jumlah anakan, rimpang induk, diameter rimpang induk, bobot simplisia kering dan produksi rimpang segar temulawak (Balittro 1, Balittro 2 dan Balittro 3) di KP. Cibinong, Bogor







Jumlah, diameter rimpang in-duk dan bobot simplisia per tanaman tidak menunjukkan perbedaan nyata antara ketiga nomor harapan temu-lawak. Diameter rimpang induk me-nunjukkan ukuran besarnya umbi te-mulawak. Semakin besar diameter rim-pang induk semakin besar ukuran rim-pang tersebut. Ukuran diameter rim-pang induk ketiga nomor harapan berkisar antara 65,32 – 66,88 mm.
Ukuran rimpang induk pada nomor harapan Balittro 1 dan Balittro 3 cenderung lebih besar dibandingkan dengan Bolittro 2, namun jumlah rim-pang induk Balittro 2 cenderung lebih tinggi. Namun ketiga parameter ter-sebut tidak berbeda nyata. Oleh karena itu hasil simplisia kering per tanaman ketiga nomor harapan tersebut juga tidak berbeda nyata. Hasil simplisia kering per tanaman antara ke tiga nomor temulawak kisarannya adalah 196,26 – 197,16 g/tanaman.
Hasil panen rimpang segar te-mulawak nomor harapan Balittro 1 mencapai 16,59 ton/ha, le-bih tinggi dibandingkan dengan hasil rimpang Balittro 2 (14,21 ton/ha), na-mun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan Balittro 3 (15,96 ton/ha).
Perbedaan ini diduga disebab-kan oleh perbedaan ukuran rimpang induk nomor harapan Balittro 1 dan Balittro 3 yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan ukuran rimpang induk Balittro 2 serta sifat genetik yang berbeda dari ketiga nomor harapan ter-sebut. Tingkat produksi rimpang segar nomor harapan temulawak Balittro 1 lebih unggul dibandingkan dengan no-mor harapan Balittro 2.
Respon ke tiga nomor harapan temulawak terhadap perlakuan pupuk organik yang ditunjukkan oleh produk-si rimpang segar per 9 m2 bervariasi. Nomor harapan temulawak Balittro 2 mempunyai respon yang lebih rendah dibandingkan dengan Balittro 1 dan Balittro 3 terhadap perlakuan pupuk organik. Balittro 2 produktivitasnya cenderung rendah, diduga kemampuan tanaman dalam memanfaatkan hara pu-puk organik lebih rendah dibanding-kan dengan Balittro 2 dan Balittro 3. Namun berdasarkan hasil penelitian (belum dipublikasi) dengan perlakuan pupuk an-organik hasil rimpang Balit-tro 2 justru lebih tinggi dibandingkan dengan Balittro 1 dan Balittro 3. Hal ini sesuai dengan hasil karakterisasi dan evaluasi awal dari nomor harapan Balittro 1, Balittro 2 dan Balittro 3 yang dipupuk anorganik, menunjukkan bahwa potensi hasil rimpang segar Balittro 2 lebih tinggi dibandingkan Balittro 1 dan Balittro 3 (Setiyono dan Ajijah, 2002) . Nomor harap-an Balittro 1 dan Balittro 3 cenderung lebih sesuai pada budidaya organik di-bandingkan dengan Balittro 2, sedang-kan Balittro 2 diduga lebih cocok pada budidaya anorganik.
Mutu simplisia dilihat dari ka-dar sari larut air nomor harapan Ba-littro 1 cenderung lebih tinggi diban-dingkan dengan Balittro 2 dan Balittro 3, demikian juga kadar sari larut alko-hol.Sehingga mutu simpli-sia berdasarkan kadar sari, Balittro 1 lebih unggul dibandingkan Balittro 2. Namun kadar minyak atsiri Balittro 2 lebih tinggi dibandingkan dengan Ba-littro 1 dan Balittro 3.
Mutu simplisia berdasarkan kadar sari, berbanding terbalik dengan kadar minyak atsirinya, apabila sim-plisia berkadar sari tinggi maka kadar minyak atsirinya rendah dan sebalik-nya apabila kadar minyak atsirinya tinggi maka kadar sarinya menjadi lebih rendah. Namun kondisi demi-kian tidak selalu terjadi pada tanaman, seperti halnya pada bangle. Mutu simplisia lebih banyak ditentukan oleh faktor genetik tanaman.
Kadar bahan aktif utama pada rimpang temulawak adalah xanthorrhi-zol dan kurkuminoid. Kadar xanthorri-zol di dalam simplisia kering temula-wak Balittro 1 (1,28%) lebih tinggi di-bandingkan dengan Balittro 2 (1,26%) dan Balittro 3 (0,96%) (Tabel5). Kadar kurkuminoid Balittro 1 (1,72%) lebih tinggi dibandingkan dengan Balittro 3 (1,56%) dan Balittro 2 (1,45%).





Berdasarkann kadar xanthorri-zol dan kurkuminoid di dalam simpli-sia rimpamg kering temulawak, maka dapat dihitung hasil xanthorrizol dan kurkuminoid temulawak dalam satu hektar. Xanthorrizol yang dihasilkan nomor harapan Balittro 1, Balittro 2 dan Balittro 3 berturut-turut adalah 52,48 kg, 45,99 kg dan 39,36 kg/ha. Produksi xanthorrizol ter-tinggi diperoleh dari Balittro 1 dan terendah adalah Balittro 3. Hasil xanthorrizol dipengaruhi oleh kadar xanthorrizol dan produksi simplisia kering temulawak.
Kurkuminoid yang dihasilkan nomor harapan Balittro 1, Balittro 2 dan Balittro 3 berturut-turut adalah 70,52 kg, 52,92 kg dan 63,96 kg/ha. Kurkuminoid tertinggi diha-silkan Balittro 1 dan terendah Balittro 2, hal ini disebabkan oleh produksi rimpang dan kadar kurkuminoid Balit-tro 2 relatif lebih rendah dibandingkan dengan Balittro1 dan Balittro 3.


KESIMPULAN
1.      Produksi rimpang segar dengan perlakuan pupuk organik belum dapat mencapai produksi optimal (20 t/ha), namun produksi rimpang masih lebih tinggi dibandingkan dengan produksi rata-rata nasional. Produksi rimpang segar, kadar dan produksi xanthorizol, serta kadar dan produksi kurkuminoid temulawak nomor harapan Balittro 1 lebih tinggi dibandingkan dengan Ba-littro 2 dan Balittro 3.
2.      Nomor harapan Balittro 1 lebih unggul produksi dan mutunya diban-dingkan dengan Balitro 2 dan Balittro 3 dengan perlakuan pupuk organik, oleh karena itu nomor harapan Balittro 1 dapat menjadi calon varietas yang dapat digunakan dalam budidaya organik.
3.      Dari hasil penelitian yang dilakukan pemberian beberapa pupuk organik dan mineral alam tidak berpengaruh nyata terhadap rimpang temulawak tetapi berpengaruh terhadap ketiga varietas temulawak


DAFTAR PUSTAKA
Darusman, L. K., B. P. Priosoeryanto, M. Hasanah, M.Rahardjo dan E. D.
Purwakusumah. 2007. Potensi temulawak terstandar untuk menanggulangi flu burung, Laboran Hasil Penelitian, Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Badan Litbang Pertanian, 46 hlm.

Premono, M.E., 1997. Pendugaan pela-rutan fosfat oleh mikroorganisme dengan menggunakan indeks pela-rutan. Buletin Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia. No. 145 : 1-9.

Pribadi, E.R. dan Mono. R. 2007. Kajian Ekonomi Budidaya Organik Dan Konvensional Pada 3 Nomor Harapan Temulawak (Curcuma Xanthorhiza Roxb). Bul. Littro. Vol. XVIII No. 1 Hal 73-85

Rahardjo, M. 2001. Karakteristik beberapa bahan tanaman obat keluarga Zingiberaceae. Buletin Plasma Nutfah, Badan Litbang Pertanian, 7:25-30.

Rahardjo, M, dan N. Ajijah. 2007. Pengaruh Pemupukan Organik Terhadap Produksi dan Mutu Tiga Nomor Harapan Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb.) di Cibinong Bogor. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor

Rukmana, R. 1995. Temulawak Tanaman Rempah dan Obat.Kanisius. Yogyakarta

Sulistianingrum, P. 2013. Pengaruh Campuran Pupuk Organik dan Hayati Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jahe (Zingibet officinale). Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta

Simanungkalit, R.D.M.2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian

Widowati, L.R., dan W. Hartatik. 2012. Pupuk Kandang. Balai Penelitian Tanah.

Yusron, M. dan M. Januwati, 2005. Pengaruh pupuk bio terhadap per-tumbuhan dan produksi temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) di bawah tegakan sengon. Makalah di-sampaikan pada Konggres Nasional Ke-2 Obat Tradisional Indonesia di Bandung, 12-14 Januari 2005, 9 hal.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar