PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa
sawit merupakan salah
satu komoditas yang menjadi
primodana dunia. Dalam dua
dekade tersebut bisnis
sawit tumbuh diatas 10%
per tahun, jauh meninggalkan komoditas
perkebunan lainnya yang tumbuh
dibawah 5%. Kecenderungan tersebut semakin
mengerucut, dengan
ditemukannnya hasil-hasil penelitian
terhadap deversifikasi yang dapat
dihasilkan oleh komoditi ini,
selain komoditi utama
berupa minyak sawit, sehingga
menjadikan komoditi ini sangat
digemari oleh para
investor perkebunan. Masa umur
ekonomis kelapa sawit yang
cukup lama sejak
mulai tanaman mulai menghasilkan,
yaitu sekitar 25
tahun menjadikan jangka waktu
perolehan manfaat dari investasi
di sektor ini menjadi salah
satu pertimbangan yang ikut
menentukan bagi kalangan dunia
(Krisnohadi, 2011).
Indonesia mempunyai sekitar 21 juta ha lahan gambut
dengan simpanan karbon bawah tanah ( ) sekitar 37 giga ton (Gt). Namun seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk, pembukaan hutan gambut untuk mendapatkan
bahan bangunan dan perabot serta untuk perluasan lahan pertanian dan perkotaan
akan semakin meningkat. Konversi lahan gambut tersebut akan mengakibatkan
meningkatnya jumlah CO yang diemisikan (Wahyunto, et al. 2007).
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara
negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera,
Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan
ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun
kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian.
Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6
juta ha yang layak untuk pertanian (Agus dan Subiksa, 2008).
Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan
permintaan terhadap produk pertanian maka kebutuhan akan perluasan lahan
pertanian juga meningkat. Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal,
seperti lahan gambut, menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian.
Selain berpotensi memberikan tambahan devisa dan kesempatan kerja bagi
masyarakat, lahan gambut juga merupakan penyangga ekosistem terpenting karena
simpanan karbon dan daya simpan airnyayang sangat tinggi. Pembukaan lahan
gambut merubah ekosistemnya dan menguras simpanan karbon serta menghilangkan
kemampuannya menyimpan air. Dengan pengorbanan yang besar dari sisi kualitas
lingkungan, penggunaan lahan gambut untuk pertanian memberikan keuntungan
ekonomi yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan lahan mineral (Agus dan Subiksa, 2008).
Budidaya
pengembangan perkebunan
Kelapa sawit sangat
erat kaitannya dengan daya
dukung lahan sebagai
media tanam komoditi ini.
Besarnya pengaruh kesesuaian lahan untuk mendukung pertumbuhan
tanaman akan berpengaruh secara
langsung terhadap kesuburan tanah
yang pada akhirnya berdampak pada
produkvitas hasil. Dengan luas
Kabupaten Kubu raya sekitar
± 6.985,25 km2, potensi
sumber daya lahan
yang ada sangat mendukung
untuk dikembangkannya komoditi
sejenis. Dengan letak geografis yang dekat
dengan pusat perdagangan,
serta karakteristik
perekonomian yang bersifat agraris-industri, sangat
potensial untuk dikembangkan perkebunan
kelapa sawit. Namun, berlawanan
dengan potensi tersebut, kondisi fisiografis
Kabupaten Kubu Raya sebagian
besar berada pada
lahan gambut, menjadi tantangan
bagi pengembangan kelapa sawit secara optimum (Krisnohadi, 2011).
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan paper ini
adalah untuk mengetahui sistem drainase pada perkebunan kelapa sawit (Elaeis gunineensis Jacq.) di lahan gambut.
Kegunaan Penulisan
Sebagai
salah satu syarat untuk mengikuti Praktikal Test di Laboratorium Teknologi
Budiadaya Tanaman Perkebunan, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Dan sebagai bahan informasi bagi
pihak yang membutuhkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Kelapa Sawit
Klasifikasi tanaman kelapa sawit adalah sebagai
berikut: Divisi Spematophyta, Kelas: Angiospermae, Ordo : Monocotyledone, Famili
: Arecaceae,Subfa mili : Cocoideae,Genus :Elaeis,Spesies : Elaeis guineensis Jacq. (Pahan, 2010).
Akar
tanaman berfungsi sebagai
penyerap unsur hara
dalam tanah, respirasi, serta
menyangga tegaknya pohon.
Sistem perakaran pada
tanaman kelapa sawit berupa akar serabut, yang terdiri atas akar primer, sekunder, tersier, dan kuartier.
Akar primer dapat
tumbuh vertikal (radicle)
maupun mendatar (adventitious
roots) dan berdiameter antara 6-10 mm. Akar sekunder, yaitu akar yang tumbuh
dari akar primer,
arah tumbuhnya mendatar
maupun ke bawah, berdiameter 2-4
mm. Akar tertier,
yaitu akar yang
tumbuh dari akar
sekunder, arah tumbuhnya mendatar, panjangnya mencapai 0.7-1.2 mm. Akar
kuartier, yaitu akar-akar cabang dari akar tertier, berdiameter 0.2-0.8 mm dan panjangnya
ratarata 2 cm (Syakir, et al, 2010).
Batang pada kelapa sawit tidak memiliki kambium dan
umumnya tidak bercabang. Batang berfungsi sebagai struktur pendukung tajuk
(daun, bunga, dan buah), sebagai sistem pembuluh yang mengangkut unsur
hara dan makanan bagi tanaman. Tinggi
tanaman bertambah 35-75
cm/tahun sesuai dengan
keadaan lingkungan (Syakir, dkk. 2010).
Daun tanaman kelapa sawit membentuk susunan daun
majemuk, bersirip genap, dan bertulang sejajar. Daun-daun disanggah oleh
pelepah yang panjangnya bisa mencapai 9 meter. Jumlah anak daun di setiap
pelepah sekitar 250-300 helai. Daun muda yang masih kuncup berwarna kunin
pucat. Duduk pelepah daun pada batang
tersusun dalam satu
susunan yang melingkari
batang dan membentuk spiral. Pohon
kelapa sawit normal
dan sehat yang
dibudidayakan biasanya memiliki 40-50
pelepah daun. Pertumbuhan
pelepah daun pada tanaman muda yang
berumur 5-6 tahun
mencapai 30-40 helai,
sedangkan pada tanaman yang lebih tua antara 20-25 helai (Mangoensoekarjo
dan Semangun, 2005).
Tanaman
kelapa sawit akan mulai
berbunga pada umur
12-14 bulan. Bunganya
termasuk monocious yang berarti bunga jantan dan betina terdapat pada
satu pohon tetapi tidak pada tandan
yang sama. Tanaman
ini dapat menyerbuk
silang ataupun menyerbuk sendiri
(Susanto, et al, 2005).
Buah kelapa sawit termasuk buah batu yang terdiri
atas tiga bagian,bagian luar (epicarpium)
disebut kulit luar,
lapisan tengah (mesocarpium)
atau disebut daging buah, mengandung minyak kelapa sawit yang disebut Crude Palm Oil (CPO),
dan lapisan dalam
(endocarpium) disebut inti,
mengandung minyak inti yang disebut PKO atau Palm Kernel Oil (Syakir, et al, 2010).
Syarat Tumbuh
Iklim
Curah
hujan berhubungan dengan
jaminan ketersediaan air dalam
tanahsepanjang pertumbuhan
tanaman. Tanaman kelapa
sawit praktis berproduksi sepanjang tahun sehingga membutuhkan
suplai air relatif sepanjang tahun
pula. Ada dua
hal penting yang
perlu diperhatikan yaitu jumlah
curah hujan tahunan
(mm) dan distribusi curah
hujan bulanan. Curah
hujan yang ideal berkisar 2.000–3.500
mm/th yang merata
sepanjang tahun dengan minimal
100 mm/bulan (Paramananthan, 2003).
Di luar kisaran tersebut
tanaman akan mengalami
hambatan dalam pertumbuhan dan berproduksi. Curah hujanantara 1700 –
2.500 dan 3.500–4.000 tanaman akan mengalami sedikit hambatan.
Di lokasi dengan
curah hujan kurang
dari 1.450 mm/th dan lebih dari 5.000 mm/th sudah tidaksesuai untuk sawit.
Rendahnya curah hujan
tahunan berkaitan dengan defisit
air dalam jangka waktu relatif lama
sedangkan curah hujan yang
tinggi berkaitan dengan
rendahnya intensitas cahaya (Syakir, et al, 2010).
Suhu
rata-rata tahunan untuk
pertumbuhan dan produksi sawit berkisar antara
24-29 C, dengan produksi terbaik antara
25–27 C. Di daerah
tropis, suhu udara
sangat erat kaitannya dengan
tinggi tempat di
atas permukaan laut (dpl).
Tinggi tempat optimal
adalah 200 m
dpl, dan disarankan tidak lebih
dari 400 m dpl, meskipun di beberapa
daerah, seperti di Sumatera Utara, dijumpai pertanaman sawit yang cukup
baik hingga ketinggian
500 m dpl.
Suhu minimum dan maksimum
belum banyak diteliti,
tetapi dilaporkan bahwa sawit
dapat tumbuh baik
pada kisaran suhu antara 8 hingga
38 C (Pahan, 2010).
Intensitas
cahaya matahari menentukan laju
fotosintesa pada daun
yang pada akhirnya menentukan tingkat
produksi. Intensitas matahari
juga erat kaitannya dengan perawanan,
curah hujan, ketinggiantempat (altitude), dan lintang lokasi (Latitude). Di
daerah yang banyak berawan
menyebabkan intensitas matahari
yang diterima daun sawit menjadi
lebih rendah. Sebaliknya meskipun curah hujan
relatif tinggi tetapi
lebih banyak terjadi
sore hingga malam dan perawanan
kurang, maka intensitas matahari bisa cukup untuk mendukung fotosintesa yang
tinggi. Makin tinggi tempat, suhu makin rendah dan biasanya disertai perawanan
yang lebih lama
atau curah hujan
yang tinggi dan
makin menjauh dari garis
khatulitiwa penyinaran matahari
makin berkurang. Kelapa sawit memerlukan lama penyinaran antara 5 dan 12 jam/hari (Syakir, et al, 2010).
Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah
tropis dengan kisaran 15 ºLU – 15 ºLS. Ketinggian tempat berhubungan dengan
suhu udara, kelembaban, serta penyinaran matahari. Tanaman tumbuh sempurna pada
ketinggian 0 – 400 m di atas permukan laut (dpl), kelembaban
optimal 80 – 90 %, dan lama penyinaran matahari 5
- 7 jam/hari.
Curah hujan rata
– rata tahunan
yang memungkinkan untuk
pertumbuhan kelapa sawit adalah 1250
– 3000 mm yang merata sepanjang
tahun, curah hujan optimal berkisar 1750
– 2500 mm dengan jumlah bulan
kering maksimal 3 bulan.
Pertumbuhan tanaman kelapa
sawit memerlukan suhu
udara antara 22º -
33ºC. Kelapa sawit
membutuhkan intensitas cahaya
matahari yangcukup tinggi untuk
melakukan fotosintesis. Kecepatan angin sekitar 5 - 6
km/jam sangat baik untuk
membantu penyerbukan kelapa
sawit. Angin yang
terlalu kencang menyebabkan tanaman menjadi doyong bahkan roboh (Abdurachman
dan Suriadikarta, 2000).
Tanah
Sifat
fisik tanah seperti
tekstur, struktur, kedalaman
efektif tanah, tinggi muka
air tanah, ketebalan
gambut, dan permeabilitas tanah.
Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap perkembangan perakaran
tanaman untuk menunjang suplai air dan hara serta mendukung tegaknya tanaman.
Jika tekstur tanah didominasi
liat maka drainase
tanah akan terhambat, sebaliknya
jika didominasi pasir maka tanah cepat kering
sehingga perkembangan akar
akan terhambat. Kedalaman efektif
tanah yang tipis atau muka air tanah yang tinggi (dangkal) berarti daerah
jelajah akar akan terbatas (Syakir, et al, 2010).
Kesuburan tanah dalam
hal ini dimaksudkan adalah
kesuburan alami tanah yang ditentukan oleh sifat-sifat fisik
kimia dan biologis tanah. Sifat-sifat
fisik tanah yang penting
ada lah sifat-sifat
yang berhubungan dengan penyediaan
udara dan air untuk
tanaman serta yang
menyangkut kebebasan
perkembangan akar, gerakan
peredaan udara, daya menahan
air dan sifat-sifat
pengolahan tanah.
Sifat-sifat ini berhubungan
dengan kedalaman efektif,
permeabilitas dan drainase tanah, tekstur, struktur serta
konsistensi tanah. Sifat-sifat
kimia tanah mencakup
cadangan potensi/jumlah
total dan tersedianya
unsurunsur hara tanaman. Potensi hara tanaman ini biasanya dikaitkan
dengan kandungan N, P
dan K
total. Status tersedianya
hara tanaman lebih berkaitan
dengan ketersediaan P
dan K, pH, kejenuhan
basa dan total
basa-basa serta
daya/kapasitas tanah untuk
menahan basabasa. Selain
sifat-sifat kimia yang
disebutkan di atas, keadaan
beberapa unsur mikro
dan unsur-unsur yang bersifat
racun seperti aluminium bila
terdapat dalam konsentrasi yang tinggi
dalam larutan tanah
perlu mendapat perhatian (Susanto, et al, 2005).
Tanah
merupakan media tumbuh
tanaman yang sangat
dipengaruhi sifat fisik dan
kimia tanah. Kelapa
sawit merupakan tanaman
yang dapat dibudidayakan dengan
baik di tanah
mineral maupun di
tanah gambut. Dengandemikian, spektrum jenis tanah yang sesuai untuk kelapa sawit cukup lebar
dan dapat mencakup beragam jenis tanah. Berbagai jenis tanah mineral di Indonesia cukup sesuai
seperti Ultisol, Inceptisol,
Entisol, Andisol, maupun
Oxisol (Arsyad, 2011).
Pengertian
Lahan Gambut
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan
tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau
lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman
yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara.
Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back
swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus dan Subiksa, 2008).
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman
yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah
karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi
lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota
pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan
tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Ardjakusuma,
et al, 2001).
Tanah gambut adalah tanah-tanah yang jenuh air,
tersusun dari bahan tanah organik berupa sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman
yang telah melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam sistem klasifikasi
taksonomi tanah, tanah gambut disebut Histosols (histos, tissue: jaringan) atau
sebelumnya bernama Organosols (tanah tersusun dari bahan organik) (Agus dan
Subiksa, 2008).
Ciri-Ciri dan Klasifikasi Tanah Gambut
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam
pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density,
BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan
mengering tidak balik (irriversible drying) ( Subiksa, et al, 1997.)
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat
mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air <100%
(berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang
mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran
air dan mudah terbakar dalam keadaan kering Gambut yang terbakar menghasilkan
energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut yang terbakar
juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga
kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali (Widjaja-Adhi, 1988).
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai
sudut pandang yang berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan
posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan
menjadi:
• Gambut saprik
(matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak
dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas
kandungan seratnya <
15%.
• Gambut hemik
(setengah matang) (Gambar 2, bawah) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa
dikenali, berwarma
coklat, dan bila diremas bahan seratnya
15 – 75%.
• Gambut fibrik
(mentah) (Gambar 2, atas) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih
bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa
(Agus dan Subiksa, 2008)
Berdasarkan lingkungan
pembentukannya, gambut dibedakan atas:
• Gambut ombrogen yaitu
gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya dipengaruhi oleh air hujan
• Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di
lingkungan yang mendapat
pengayaan air pasang. Dengan demikian
gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan
gambut ombrogen (Agus, 2009).
Berdasarkan
kedalamannya gambut dibedakan menjadi:
• gambut dangkal (50 – 100 cm),
• gambut sedang (100 – 200 cm),
• gambut dalam (200 – 300 cm), dan
• gambut sangat dalam (> 300 cm)
(Agus
dan Subiksa, 2008).
Sistem
Draninase Sistem Drainase Pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis
guinensis
Jacq) Di Lahan Gambut
Saluran
primer dibuat searah
atau sejajar saluran alami/sungai,
saluran sekunder dibuat untuk
mengalirkan air menuju
saluran primer dan menerima
aliran air dari
saluran tersier. Jarak antar
saluran sekunder adalah
200 m yang dirancang
untuk membatasi blok-blok areal, sedangkan saluran tersier
dibuat antar 8 jalur tanaman atau
dengan interval 59
m bila densitas tanaman
sawit 160 tanaman/ha. Pembangunan saluran
dimaksudkan juga untuk menghasilkan
pengerutan, peningkatan
kematangan gambut dan
kompaksi alami bahan gambut
maksimal 1 m
pada tahun pertama dan
laju subsidensi yang
terjadi setelah kompaksi itu
dikendalikan denganpengaturan muka
air tanah. Kompaksi
alami yang baik menghasilkan
kapilaritas dan kapasitas pegang
air yang optimal,
akan meningkatkan daya cengkram
akar kelapa sawit, meningkatkan
ketersediaan unsur hara, mengurangi resiko
kebakaran dan serangan kutu
dan semut putih,
mendukung laju pertumbuhan dan
bertambahnya produksi tandan buah
(Krisnohadi, 2011).
Komponen penting dalam pengaturan tata
air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran.
Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah agar tidak terlalu dangkal dan
tidak terlalu dalam. Tanaman tahunan memerlukansaluran drainase dengan
kedalaman berbeda-beda. Tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro sekitar
20 cm, tanaman kelapa sedalam 30-50 cm, sedangkan tanaman kelapa sawit
memerlukan saluran drainase sedalam 50-80 cm. Gambut yang relatif tipis (3 m
diperuntukan sebagai kawasan konsevasi). Hal ini disebabkan kondisi lingkungan
lahan gambut dalam yang rapuh (fragile) apabila dikonversi menjadi lahan
pertanian (Abdurachman dan Suriadikarta, 2000).
Komponen penting dalam pengaturan tata air
lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran.
Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah agar tidak terlalu dangkal
dan tidak terlalu dalam. Tanaman tahunan memerlukansaluran drainase dengan
kedalaman berbeda-beda. Tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro sekitar
20 cm, tanaman kelapa sedalam 30-50 cm, sedangkan tanaman kelapa sawit
memerlukan saluran drainase sedalam 50-80 cm. Gambut yang relatif tipis (3 m diperuntukan
sebagai kawasan konsevasi). Hal ini disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut
dalam yang rapuh (fragile) apabila dikonversi menjadi lahan pertanian (Ardjakusuma, et al, 2001).
Pada dasarnya
pembuatan sistem drainase terdiri dari sebuah jaringan kerja yang terdiri dari
tiga jenis parit, yaitu: parit utama, parit koleksi dan parit kebun.
Parit-parit berfungsi untuk menjaga agar ketinggian air selalu berkisar antara
50-70 cm. Sistem drainase ini sekaligus berfungsi sebagai sarana untuk
pembilasan gambut secara periodik dari keasaman yang
berlebihan. Parit-parit ini perlu dibersihkan secara periodik agar
sirkulasi air dilahan gambut berjalan lancar. Ukuran ketiga parit tersebut
adalah parit utamaa lebar atas 3-6 cm lebar bawah 1,2-1,8 dengan kedalaman
1,8-2,5 cm. Parit koleksi lebar atas 1,8-2,5 lebar bawah 0,6-0,9 cm dengan
kedalaman pari 1.2-1,8 cm dan parit kebun lebar atas 1,0-2,o0 cm lebar bawah
0,6-0,9 cm dengan kedalaman parit 0,9-1 (Kurniawan,
2010).
Reklamasi gambut untuk pertanian tanaman tahunan
memerlukan jaringan drainase makro yang dapat mengendalikan tata air dalam
suatu wilayah dan drainase mikro untuk mengendalikan air di tingkat lahan.
Sistem drainase yang tepat dan benar sangat diperlukan pada lahan gambut, baik
untuk tanaman pangan maupun perkebunan. Sistem drainase yang tidak tepat akan
mempercepat kerusakan lahan gambut (Ardjakusuma, et al, 2001).
Parit utama dibuat di bagian tepi kebun dimaksudkan
untuk menghilangkan air yang berlebihan pada rawa Gambut. Pembuatan parit utama
dikerjakan 6 (enam) bulan sebelum pembukaan lahan. Pembuatan parit utama dapat
dilakukan dengan menggunakan excavator dengan menggunakan modifikasi mata
rantai track yang lebarnya 1 meter untuk memi nimalkan resiko tenggelamnya
excavator ke dalam rawa gambut. Pembuatan parit koleksi dilakukan setelah
pembukaan lahan. Parit-parit koleksi bermuara pada parit-parit utama dan
masing-masing parit koleksi terpisah 400-600 meter.Pembuatan parit kebun dibuat
terakhir, setelah kegiatan pemadatan tanah selesai dilakukan. Parit-parit kebun
bermuara pada parit koleksi. Satu parit kebun pada kebun kelapa sawit cukup
untuk 8 baris tanaman. Pada kepadatan 160 pohon per hektar, jarak antara 2
parit adalah 59 meter dan memerlukan panjang parit 150 m (Kurniawan, 2010).
Produktivitas Kelapa Sawit di Lahan Gambut
Pertumbuhan dan potensi produktivitas tanaman kelapa
sawit di lahan gambut cukup beragam terngantung pada kondisi lahan dan tingkat
pengelolaan
yang
dilakukan. produktivitas tanaman kelapa sawit pada lahan gambut saprik dapat
mencapai 27 ton TBS/ha/thn jika dikelola dengan baik (Susanto,et al, 2005).
Produktivitas tanaman kelapa sawit di tanah gambut
juga dipengaruhi oleh
ketebalan
gambut. Tanah gambut dangkal < 1m umumnya memiliki tingkat kematangan dan
kesuburan kimia yang lebih baik, sehingga menghasilkan produksi kelapa sawit
yang lebih tinggi di banding dengan gambut sedang dan dalam. Produktivitas
tanaman kelapa sawit di Malaysia menunjukkan hasil 19,1 ton/ha pada gambut
dangkal, 16,5 ton/ha pada gambut sedang dan 11, 9 ton/ha pada gambut dalam (Syakir,
et al, 2010).
Manurung, dkk (2002) melakukan pengamatan
pertumbuhan kelapa sawit
pada
perkebunan PT Torganda. Pertumbuhan kelapa sawit di tanah gambut ternyata cukup
normal dibanding dengan kelapa sawit di tanah mineral berkesuaian kelas III (S3).
Lilit batang, pembentukan jumlah pelepah, panjang pelepah dan sex ratio ternyata
adalah normal dibanding dengan pertumbuhan tanaman kelapa sawit di tanah mineral.
Produksi tanaman kelapa sawit di tanah gambut memiliki rata-rata 23 ton/ ha/tahun.
Hasil pengukuran lilit batang, jumlah pelepah yang terbentuk, panjang pelepah
dan sex ratio ternyata normal dibanding dengan tanaman pada tanah mineral
(Susanto, et al, 2005).
Upaya teknis yang dilakukan untuk mengembangkan
tanaman kelapa sawit di lahan gambut membutuhkan perhatian yang serius dengan
investasi persiapan lahan yang cukup tinggi. Hasil percobaan penanaman kelapa
sawit di areal pasang surut oleh Kanaphaty dalam Pangudijatno (1990) dengan
teknik drainase yang baik mampu menghasilkan 25 ton TBS/ha/tahun (Syakir, et al, 2010).
Pertumbuhan Tanaman kelapa Sawit di Tanah Gambut
Faktor
pembatas yang memiliki kemungkinan untuk
menghambat produktivitas
tanaman kelapa sawit
secara garis besar dibatasi oleh kelas drainase sedang. Drainase merupakan
keadaan tata air
dalam tubuh profil tanah
yang merupakan resultan atau hasil akhir dari gerakan air
yang turun ke bawah (air perkolasi) dan air aliran permukaan (run off).
Kedalaman muka air
tanah ikut mempengaruhi keadaan
drainase karena gerakan air
kapiler kearah permukaan
tanah ikut mempengaruhi basah
atau keringnya tubuh tanah.
Air tanah yang
tergenang pada lahan gambut
mengakibat kan profil
terlalu basah, pori-pori cenderung
terisi air sehingga oksigen/udara menjadi
kurang. Pada lokasi kelas
lahan S2 ini,
rata-rata saluran drainase telah teratur,
sehingga kemungkinan untuk perakaran kelapa
sawit relatif mudah
untuk berkembang (Krisnohadi, 2011).
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau
menyangga beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan
beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga
tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman kelapa
sawit seringkali doyong atau bahkan roboh . Tanaman kelapa sawit yang doyong
ini akan mengalami stress selama 1-2 tahun sehingga semasa ini tanaman tidak
mengasilkan produksi. Tanaman kelapa sawit yang tumbang secara umum terjadi
pada tanah gambut yang sudah matang sehingga pertumbuhan tanaman sudah cukub
baik dan memiliki bobot batang dan daun yang lebih besar sehingga tanah tidak
cukup kuat untuk menahan bobot tanaman yang yang besar tersebut, sementara
perakaran kurang kuat berjangkar di dalam tanah (Syakir, et al, 2010).
Faktor pembatas atau penghambat utama pengelolaan
pertanian di lahan rawa gambut meliputi genangan air , tingginya kemasaman tanah
(pH tanah rendah), adanya zat beracun, rendahnya kesuburan tanah; kondisi fisik
lahan seperti bobot isi tanah yang ringan, tingkat kematangan dan ketebalan gambut(Agus
dan Subiksa, 2008).
KESIMPULAN
1.
Lahan
gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik.
2.
Gambut
memiliki sifat yang khas yaitu bersifat subsiden (penurunan permukaan) dan irreversibel (Kering tak
balik).
3.
Agar
lahan gambut dapat dimanfaatkan perlu di buat drainase yg baik yaitu dengan
membuat saluran primer, saluran skunder dan saluran tersier pada lahan
tersebut.
4.
Pertumbuhan
kelapa sawit dapat terhambat pada lahan gambut apabila ada faktor pembatas
seperti kesuburan tanah renda, pH terlalu rendah, drainase tidak baik.
5.
Produktivitas
tanaman kelapa sawit di lahan gambut menunjukkan hasil 19,1 ton/ha pada gambut
dangkal, 16,5 ton/ha pada gambut sedang dan 11, 9 ton/ha pada gambut dalam. Apabila
drainase pada lahan gambut bagus maka produktivitas kelapa sawit di lahan
gambut mencapai 25-27 ton/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman dan Suriadikarta,
2000. Pemanfaatan Lahan Rawa eks PLG Kalimantan Tengah untuk
Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan. Jurnal Litbang Pertanian (3) hal 19.
Agus, F. 2009. Cadangan karbon,
emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan gambut. Prosiding Seminar Dies
Natalis Universitas Brawidjaya ke 46, 31 Januari 2009, Malang.
Agus, F dan I.G. Made Subiksa.
2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai
Penelitian TanahBadan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Ardjakusuma, S., Nuraini,
Somantri, E., 2001. Teknik Penyiapan Lahan Gambut Bongkor untuk Tanaman
Hortikultura. Buletin Teknik Pertanian. Vol 6 No. 1, 2001. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
Arsyad, S. 2011. Konservasi Tanah
dan Air. IPB Press. Bogor..
Halim, A. 1987. Pengaruh
pencampuran tanah mineral dan basa dengan tanah gambut pedalaman Kalimantan
Tengah dalam budidaya tanaman kedelai. Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB.
Bogor.
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber
daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Hal. 86-94.
Krisnohaadi, A. 2011. Analisis
Pengembangan Lahan Gambut Untuk Tanaman Kelapa Sawit Kabupaten Kubu Raya. Perkebunan dan Lahan Tropika J. Tek.
Perkebunan & PSDL
Kurniawan, H.2010. Pedoman
Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun, Direktorat Perlindungan Perkebunan, Jakarta.
Mangoensoekarjo, S dan Haryono Semangun. 2005.
Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Pahan, I. 2010.
Panduan lengkap Kelapa
sawit. Managemen Agribisnis dari
hulu hingga hilir.Penebar
Swadaya, Jakarta.
Subiksa, IGM., K. Nugroho, Sholeh
and IPG. Widjaja Adhi. 1997. The effect of ameliorants on the chemical
properties and productivity of peat soil. In: Rieley and Page (Eds).
Pp:321-326. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands.Samara
Publishing Limited, UK.
Susanto, A., Sudarto,P., dan Roletha
Y. Purba. 2005. Penyakit Penyakit
Eksotis Pada Kelapa
Sawit Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan..
Syakir, M., Zulkarnai.P.,
Syafaruddin., Widi Rumini.2010. Budidaya kelapa Sawit. ASKA
MEDIA. Bogor.
Wahyunto, H. Subagjo, S. Ritung,
and H. Bekti. 2007.. Wetland International-Indonesia Program and Wildlife
Habitat Canada (WHC).
Widjaja-Adhi, I P.G. 1988.
Physical and chemical characteristic of peat soil of Indonesia. Ind. Agric.
Res. Dev. J. 10:59-64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar