Kamis, 15 September 2016

Sistem Draninase Sistem Drainase Pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq) Di Lahan Gambut

PE
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa  sawit  merupakan  salah  satu komoditas  yang  menjadi  primodana  dunia. Dalam  dua  dekade  tersebut  bisnis  sawit tumbuh  diatas  10%  per  tahun,  jauh meninggalkan  komoditas  perkebunan  lainnya yang  tumbuh  dibawah  5%.  Kecenderungan tersebut  semakin  mengerucut,  dengan ditemukannnya  hasil-hasil  penelitian  terhadap deversifikasi  yang  dapat  dihasilkan  oleh komoditi  ini,  selain  komoditi  utama  berupa minyak  sawit,  sehingga  menjadikan  komoditi ini  sangat  digemari  oleh  para  investor perkebunan.  Masa  umur  ekonomis  kelapa sawit  yang  cukup  lama  sejak  mulai  tanaman mulai  menghasilkan,  yaitu  sekitar  25  tahun menjadikan  jangka  waktu  perolehan  manfaat dari  investasi  di  sektor ini  menjadi salah  satu pertimbangan  yang  ikut  menentukan  bagi kalangan dunia (Krisnohadi, 2011).
Indonesia mempunyai sekitar 21 juta ha lahan gambut dengan simpanan karbon bawah tanah ( ) sekitar 37 giga ton (Gt). Namun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, pembukaan hutan gambut untuk mendapatkan bahan bangunan dan perabot serta untuk perluasan lahan pertanian dan perkotaan akan semakin meningkat. Konversi lahan gambut tersebut akan mengakibatkan meningkatnya jumlah CO yang diemisikan (Wahyunto, et al. 2007).
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian (Agus dan Subiksa, 2008).
Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan terhadap produk pertanian maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian juga meningkat. Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal, seperti lahan gambut, menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian. Selain berpotensi memberikan tambahan devisa dan kesempatan kerja bagi masyarakat, lahan gambut juga merupakan penyangga ekosistem terpenting karena simpanan karbon dan daya simpan airnyayang sangat tinggi. Pembukaan lahan gambut merubah ekosistemnya dan menguras simpanan karbon serta menghilangkan kemampuannya menyimpan air. Dengan pengorbanan yang besar dari sisi kualitas lingkungan, penggunaan lahan gambut untuk pertanian memberikan keuntungan ekonomi yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan lahan mineral                (Agus dan Subiksa, 2008).
Budidaya  pengembangan  perkebunan Kelapa  sawit  sangat  erat  kaitannya  dengan daya  dukung  lahan  sebagai  media  tanam komoditi  ini.  Besarnya  pengaruh  kesesuaian lahan untuk mendukung pertumbuhan tanaman akan  berpengaruh  secara  langsung  terhadap kesuburan  tanah  yang  pada  akhirnya berdampak  pada  produkvitas  hasil.  Dengan luas  Kabupaten  Kubu  raya sekitar  ±  6.985,25 km2,  potensi  sumber  daya  lahan  yang  ada sangat  mendukung  untuk  dikembangkannya komoditi sejenis. Dengan letak geografis yang dekat  dengan  pusat  perdagangan,  serta karakteristik  perekonomian  yang  bersifat agraris-industri,  sangat  potensial  untuk dikembangkan  perkebunan  kelapa  sawit. Namun,  berlawanan  dengan  potensi  tersebut, kondisi  fisiografis  Kabupaten  Kubu  Raya sebagian  besar  berada  pada  lahan  gambut, menjadi tantangan bagi pengembangan kelapa sawit secara optimum (Krisnohadi, 2011).
Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui sistem drainase pada perkebunan kelapa sawit (Elaeis gunineensis Jacq.) di lahan gambut.
Kegunaan Penulisan
            Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Praktikal Test di Laboratorium Teknologi Budiadaya Tanaman Perkebunan, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.


TINJAUAN PUSTAKA 


Botani Kelapa Sawit
Klasifikasi tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut: Divisi Spematophyta, Kelas: Angiospermae, Ordo : Monocotyledone, Famili : Arecaceae,Subfa mili : Cocoideae,Genus :Elaeis,Spesies : Elaeis guineensis Jacq. (Pahan, 2010).
Akar  tanaman  berfungsi  sebagai  penyerap  unsur  hara  dalam  tanah, respirasi,  serta  menyangga  tegaknya  pohon.  Sistem  perakaran  pada  tanaman kelapa sawit berupa akar serabut, yang terdiri atas  akar primer, sekunder, tersier, dan  kuartier.  Akar  primer  dapat  tumbuh  vertikal  (radicle)  maupun  mendatar (adventitious roots) dan berdiameter antara 6-10 mm. Akar sekunder,  yaitu akar yang  tumbuh  dari  akar  primer,  arah  tumbuhnya  mendatar  maupun  ke  bawah, berdiameter  2-4  mm.  Akar  tertier,  yaitu  akar  yang  tumbuh  dari  akar  sekunder, arah tumbuhnya mendatar, panjangnya mencapai 0.7-1.2 mm. Akar kuartier, yaitu akar-akar cabang dari akar tertier, berdiameter 0.2-0.8 mm dan panjangnya ratarata  2  cm (Syakir, et al, 2010).
Batang pada kelapa sawit tidak memiliki kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang berfungsi sebagai struktur pendukung tajuk (daun, bunga, dan buah), sebagai sistem pembuluh yang mengangkut unsur hara  dan makanan bagi tanaman.  Tinggi  tanaman  bertambah  35-75  cm/tahun  sesuai  dengan  keadaan lingkungan (Syakir, dkk. 2010).
Daun tanaman kelapa sawit membentuk susunan daun majemuk, bersirip genap, dan bertulang sejajar. Daun-daun disanggah oleh pelepah yang panjangnya bisa mencapai 9 meter. Jumlah anak daun di setiap pelepah sekitar 250-300 helai. Daun muda yang masih kuncup berwarna kunin pucat. Duduk pelepah daun pada batang  tersusun  dalam  satu  susunan  yang  melingkari  batang  dan     membentuk spiral.  Pohon  kelapa  sawit  normal  dan  sehat  yang  dibudidayakan  biasanya memiliki  40-50  pelepah  daun.  Pertumbuhan  pelepah  daun  pada            tanaman  muda yang  berumur  5-6  tahun  mencapai  30-40  helai,          sedangkan pada  tanaman yang lebih tua antara 20-25 helai                                     (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005).
Tanaman  kelapa sawit  akan  mulai  berbunga  pada   umur  12-14  bulan.  Bunganya  termasuk monocious yang berarti bunga jantan dan betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak  pada  tandan  yang  sama.  Tanaman  ini  dapat  menyerbuk  silang  ataupun menyerbuk sendiri (Susanto, et al, 2005).
Buah kelapa sawit termasuk buah batu yang terdiri atas tiga bagian,bagian  luar  (epicarpium)  disebut  kulit  luar,  lapisan  tengah  (mesocarpium)  atau disebut daging buah, mengandung minyak kelapa sawit yang disebut  Crude Palm Oil  (CPO),  dan  lapisan  dalam  (endocarpium)  disebut  inti,  mengandung  minyak inti  yang disebut PKO atau  Palm Kernel Oil (Syakir, et al, 2010).
Syarat Tumbuh
Iklim
Curah  hujan  berhubungan  dengan  jaminan ketersediaan  air  dalam  tanahsepanjang  pertumbuhan tanaman.  Tanaman  kelapa  sawit  praktis  berproduksi sepanjang  tahun sehingga  membutuhkan  suplai  air  relatif sepanjang  tahun  pula.  Ada  dua  hal  penting  yang  perlu diperhatikan  yaitu  jumlah  curah  hujan  tahunan  (mm)  dan distribusi  curah  hujan  bulanan.  Curah  hujan  yang  ideal berkisar  2.000–3.500  mm/th  yang  merata  sepanjang  tahun dengan  minimal  100  mm/bulan  (Paramananthan,  2003).  Di luar  kisaran  tersebut  tanaman  akan  mengalami  hambatan dalam pertumbuhan dan berproduksi. Curah hujanantara 1700 – 2.500 dan 3.500–4.000 tanaman akan mengalami sedikit  hambatan.  Di  lokasi  dengan  curah  hujan  kurang  dari 1.450 mm/th dan lebih dari 5.000 mm/th sudah tidaksesuai untuk  sawit.  Rendahnya  curah  hujan  tahunan  berkaitan dengan defisit air dalam jangka waktu relatif lama  sedangkan curah  hujan  yang  tinggi  berkaitan  dengan  rendahnya intensitas cahaya (Syakir, et al, 2010).
Suhu  rata-rata  tahunan  untuk  pertumbuhan  dan produksi  sawit  berkisar  antara  24-29 C,  dengan  produksi terbaik  antara  25–27 C.  Di  daerah  tropis,  suhu  udara  sangat erat  kaitannya  dengan  tinggi  tempat  di  atas  permukaan  laut (dpl).  Tinggi  tempat  optimal  adalah  200  m  dpl,  dan disarankan tidak lebih dari 400 m dpl, meskipun di  beberapa daerah, seperti di Sumatera Utara, dijumpai pertanaman sawit yang  cukup  baik  hingga  ketinggian  500  m  dpl.  Suhu minimum  dan  maksimum  belum  banyak  diteliti,  tetapi dilaporkan  bahwa  sawit  dapat   tumbuh   baik  pada  kisaran suhu antara 8 hingga 38 C (Pahan, 2010).
Intensitas  cahaya  matahari menentukan  laju  fotosintesa  pada  daun  yang  pada  akhirnya menentukan  tingkat  produksi.  Intensitas  matahari  juga  erat kaitannya dengan perawanan, curah hujan, ketinggiantempat (altitude), dan lintang lokasi (Latitude). Di daerah yang banyak berawan  menyebabkan  intensitas  matahari  yang  diterima daun sawit menjadi lebih rendah. Sebaliknya meskipun curah hujan  relatif  tinggi  tetapi  lebih  banyak  terjadi  sore  hingga malam dan perawanan kurang, maka intensitas matahari bisa cukup untuk mendukung fotosintesa yang tinggi. Makin tinggi tempat, suhu makin rendah dan biasanya disertai perawanan yang  lebih  lama  atau  curah  hujan  yang  tinggi  dan  makin menjauh  dari  garis  khatulitiwa  penyinaran  matahari  makin berkurang. Kelapa sawit memerlukan lama penyinaran  antara 5 dan 12 jam/hari (Syakir, et al, 2010).
Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis dengan kisaran 15 ºLU  –  15 ºLS. Ketinggian tempat berhubungan dengan suhu udara, kelembaban, serta penyinaran matahari. Tanaman tumbuh sempurna pada ketinggian 0  –  400 m di atas permukan laut (dpl), kelembaban optimal 80  –  90 %, dan lama penyinaran matahari  5  -  7  jam/hari.  Curah  hujan  rata  –  rata  tahunan  yang  memungkinkan untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 1250  –  3000 mm yang merata sepanjang tahun, curah hujan optimal berkisar 1750  –  2500 mm dengan jumlah bulan kering maksimal  3  bulan.  Pertumbuhan  tanaman  kelapa  sawit  memerlukan  suhu  udara antara  22º  -  33ºC.  Kelapa  sawit  membutuhkan  intensitas  cahaya  matahari  yangcukup tinggi untuk melakukan fotosintesis. Kecepatan angin sekitar 5  -  6 km/jam sangat  baik  untuk  membantu  penyerbukan  kelapa  sawit.  Angin  yang  terlalu kencang menyebabkan tanaman menjadi doyong bahkan roboh (Abdurachman dan Suriadikarta, 2000).
Tanah
Sifat  fisik  tanah  seperti  tekstur,  struktur,  kedalaman  efektif tanah,  tinggi  muka  air  tanah,  ketebalan  gambut,  dan permeabilitas  tanah.  Faktor-faktor  tersebut  berpengaruh terhadap perkembangan perakaran tanaman untuk menunjang suplai air dan hara serta mendukung tegaknya tanaman. Jika tekstur  tanah  didominasi  liat  maka  drainase  tanah  akan terhambat, sebaliknya jika didominasi pasir maka tanah cepat kering  sehingga  perkembangan  akar  akan  terhambat. Kedalaman efektif tanah yang tipis atau muka air tanah yang tinggi (dangkal) berarti daerah jelajah akar akan terbatas (Syakir, et al, 2010).
Kesuburan  tanah  dalam  hal  ini dimaksudkan  adalah  kesuburan  alami  tanah yang ditentukan oleh sifat-sifat fisik kimia dan biologis  tanah.  Sifat-sifat  fisik  tanah  yang penting  ada       lah  sifat-sifat  yang  berhubungan dengan   penyediaan  udara  dan  air  untuk tanaman  serta  yang  menyangkut  kebebasan perkembangan  akar,  gerakan  peredaan  udara, daya  menahan  air  dan  sifat-sifat  pengolahan tanah.  Sifat-sifat  ini  berhubungan  dengan kedalaman  efektif, permeabilitas  dan  drainase tanah, tekstur, struktur serta konsistensi tanah. Sifat-sifat  kimia  tanah  mencakup  cadangan potensi/jumlah  total  dan  tersedianya  unsurunsur hara tanaman. Potensi hara tanaman ini biasanya  dikaitkan  dengan  kandungan  N,  P dan  K  total.  Status  tersedianya  hara  tanaman lebih  berkaitan  dengan  ketersediaan  P  dan  K, pH,  kejenuhan  basa  dan  total  basa-basa  serta daya/kapasitas  tanah  untuk  menahan  basabasa.  Selain  sifat-sifat  kimia  yang  disebutkan di  atas,  keadaan  beberapa  unsur  mikro  dan unsur-unsur  yang  bersifat  racun  seperti aluminium  bila  terdapat  dalam  konsentrasi yang  tinggi  dalam  larutan  tanah  perlu mendapat perhatian (Susanto, et al, 2005).
Tanah  merupakan  media  tumbuh  tanaman  yang  sangat  dipengaruhi  sifat fisik  dan  kimia  tanah.  Kelapa  sawit  merupakan  tanaman  yang  dapat dibudidayakan  dengan  baik  di  tanah  mineral  maupun  di  tanah  gambut.  Dengandemikian, spektrum jenis tanah  yang sesuai untuk kelapa sawit cukup lebar dan dapat mencakup beragam jenis tanah. Berbagai jenis tanah mineral di  Indonesia cukup  sesuai  seperti  Ultisol,  Inceptisol,  Entisol,  Andisol,  maupun  Oxisol (Arsyad, 2011).

SISTEM DRAINASE PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT    (Elaeis guinensis Jacq) DI LAHAN GAMBUT

Pengertian Lahan Gambut
                                                                                     
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus dan Subiksa, 2008).
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Ardjakusuma, et al, 2001).
Tanah gambut adalah tanah-tanah yang jenuh air, tersusun dari bahan tanah organik berupa sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang telah melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam sistem klasifikasi taksonomi tanah, tanah gambut disebut Histosols (histos, tissue: jaringan) atau sebelumnya bernama Organosols (tanah tersusun dari bahan organik) (Agus dan Subiksa, 2008).
Ciri-Ciri dan Klasifikasi Tanah Gambut
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying) ( Subiksa, et al, 1997.)
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering Gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali (Widjaja-Adhi, 1988).
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:
• Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas
kandungan seratnya < 15%.
• Gambut hemik (setengah matang) (Gambar 2, bawah) adalah gambut setengah  lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma
coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%.
• Gambut fibrik (mentah) (Gambar 2, atas) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa (Agus dan Subiksa, 2008)
Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:
• Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya dipengaruhi oleh air hujan
•  Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat
     pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen (Agus, 2009).
Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:
•  gambut dangkal (50 – 100 cm),
•  gambut sedang (100 – 200 cm),
•  gambut dalam (200 – 300 cm), dan
•  gambut sangat dalam (> 300 cm)
(Agus dan Subiksa, 2008).
Sistem Draninase Sistem Drainase Pada Perkebunan Kelapa Sawit            (Elaeis guinensis Jacq) Di Lahan Gambut

Saluran  primer  dibuat  searah  atau  sejajar saluran  alami/sungai,  saluran  sekunder  dibuat untuk  mengalirkan  air  menuju  saluran  primer dan  menerima  aliran  air  dari  saluran  tersier. Jarak  antar  saluran  sekunder  adalah  200  m yang  dirancang  untuk  membatasi  blok-blok areal, sedangkan saluran tersier dibuat antar 8 jalur  tanaman  atau  dengan  interval  59  m  bila densitas  tanaman  sawit  160  tanaman/ha. Pembangunan  saluran  dimaksudkan  juga untuk  menghasilkan  pengerutan,  peningkatan kematangan  gambut  dan  kompaksi  alami bahan  gambut  maksimal  1  m  pada  tahun pertama  dan  laju  subsidensi  yang  terjadi setelah  kompaksi  itu  dikendalikan  denganpengaturan  muka  air  tanah.   Kompaksi  alami yang  baik  menghasilkan  kapilaritas  dan kapasitas  pegang  air  yang  optimal,  akan meningkatkan  daya  cengkram  akar  kelapa sawit,  meningkatkan  ketersediaan  unsur  hara, mengurangi  resiko  kebakaran  dan  serangan kutu  dan  semut  putih,  mendukung  laju pertumbuhan  dan  bertambahnya  produksi tandan buah (Krisnohadi, 2011).
            Komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah agar tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam. Tanaman tahunan memerlukansaluran drainase dengan kedalaman berbeda-beda. Tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro sekitar 20 cm, tanaman kelapa sedalam 30-50 cm, sedangkan tanaman kelapa sawit memerlukan saluran drainase sedalam 50-80 cm. Gambut yang relatif tipis (3 m diperuntukan sebagai kawasan konsevasi). Hal ini disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam yang rapuh (fragile) apabila dikonversi menjadi lahan pertanian                  (Abdurachman dan Suriadikarta, 2000).
 Komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah agar tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam. Tanaman tahunan memerlukansaluran drainase dengan kedalaman berbeda-beda. Tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro sekitar 20 cm, tanaman kelapa sedalam 30-50 cm, sedangkan tanaman kelapa sawit memerlukan saluran drainase sedalam 50-80 cm. Gambut yang relatif tipis (3 m diperuntukan sebagai kawasan konsevasi). Hal ini disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam yang rapuh (fragile) apabila dikonversi menjadi lahan pertanian                 (Ardjakusuma, et al, 2001).
Pada dasarnya pembuatan sistem drainase terdiri dari sebuah jaringan kerja yang terdiri dari tiga jenis parit, yaitu: parit utama, parit koleksi dan parit kebun. Parit-parit berfungsi untuk menjaga agar ketinggian air selalu berkisar antara 50-70 cm. Sistem drainase ini sekaligus berfungsi sebagai sarana untuk pembilasan gambut secara periodik dari keasaman yang berlebihan. Parit-parit ini perlu dibersihkan secara periodik agar sirkulasi air dilahan gambut berjalan lancar. Ukuran ketiga parit tersebut adalah parit utamaa lebar atas 3-6 cm lebar bawah 1,2-1,8 dengan kedalaman 1,8-2,5 cm. Parit koleksi lebar atas 1,8-2,5 lebar bawah 0,6-0,9 cm dengan kedalaman pari 1.2-1,8 cm dan parit kebun lebar atas 1,0-2,o0 cm lebar bawah 0,6-0,9 cm dengan kedalaman parit 0,9-1 (Kurniawan, 2010).
Reklamasi gambut untuk pertanian tanaman tahunan memerlukan jaringan drainase makro yang dapat mengendalikan tata air dalam suatu wilayah dan drainase mikro untuk mengendalikan air di tingkat lahan. Sistem drainase yang tepat dan benar sangat diperlukan pada lahan gambut, baik untuk tanaman pangan maupun perkebunan. Sistem drainase yang tidak tepat akan mempercepat kerusakan lahan gambut (Ardjakusuma, et al, 2001).
Parit utama dibuat di bagian tepi kebun dimaksudkan untuk menghilangkan air yang berlebihan pada rawa Gambut. Pembuatan parit utama dikerjakan 6 (enam) bulan sebelum pembukaan lahan. Pembuatan parit utama dapat dilakukan dengan menggunakan excavator dengan menggunakan modifikasi mata rantai track yang lebarnya 1 meter untuk memi nimalkan resiko tenggelamnya excavator ke dalam rawa gambut. Pembuatan parit koleksi dilakukan setelah pembukaan lahan. Parit-parit koleksi bermuara pada parit-parit utama dan masing-masing parit koleksi terpisah 400-600 meter.Pembuatan parit kebun dibuat terakhir, setelah kegiatan pemadatan tanah selesai dilakukan. Parit-parit kebun bermuara pada parit koleksi. Satu parit kebun pada kebun kelapa sawit cukup untuk 8 baris tanaman. Pada kepadatan 160 pohon per hektar, jarak antara 2 parit adalah 59 meter dan memerlukan panjang parit 150 m (Kurniawan, 2010).
Produktivitas Kelapa Sawit di Lahan Gambut
Pertumbuhan dan potensi produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut cukup beragam terngantung pada kondisi lahan dan tingkat pengelolaan
yang dilakukan. produktivitas tanaman kelapa sawit pada lahan gambut saprik dapat mencapai 27 ton TBS/ha/thn jika dikelola dengan baik (Susanto,et al, 2005).
Produktivitas tanaman kelapa sawit di tanah gambut juga dipengaruhi oleh
ketebalan gambut. Tanah gambut dangkal < 1m umumnya memiliki tingkat kematangan dan kesuburan kimia yang lebih baik, sehingga menghasilkan produksi kelapa sawit yang lebih tinggi di banding dengan gambut sedang dan dalam. Produktivitas tanaman kelapa sawit di Malaysia menunjukkan hasil 19,1 ton/ha pada gambut dangkal, 16,5 ton/ha pada gambut sedang dan 11, 9 ton/ha pada gambut dalam (Syakir, et al, 2010).
Manurung, dkk (2002) melakukan pengamatan pertumbuhan kelapa sawit
pada perkebunan PT Torganda. Pertumbuhan kelapa sawit di tanah gambut ternyata cukup normal dibanding dengan kelapa sawit di tanah mineral berkesuaian kelas III (S3). Lilit batang, pembentukan jumlah pelepah, panjang pelepah dan sex ratio ternyata adalah normal dibanding dengan pertumbuhan tanaman kelapa sawit di tanah mineral. Produksi tanaman kelapa sawit di tanah gambut memiliki rata-rata 23 ton/ ha/tahun. Hasil pengukuran lilit batang, jumlah pelepah yang terbentuk, panjang pelepah dan sex ratio ternyata normal dibanding dengan tanaman pada tanah mineral (Susanto, et al, 2005).
Upaya teknis yang dilakukan untuk mengembangkan tanaman kelapa sawit di lahan gambut membutuhkan perhatian yang serius dengan investasi persiapan lahan yang cukup tinggi. Hasil percobaan penanaman kelapa sawit di areal pasang surut oleh Kanaphaty dalam Pangudijatno (1990) dengan teknik drainase yang baik mampu menghasilkan 25 ton TBS/ha/tahun                    (Syakir, et al, 2010).
Pertumbuhan Tanaman kelapa Sawit di Tanah Gambut
Faktor  pembatas  yang  memiliki kemungkinan  untuk  menghambat produktivitas  tanaman  kelapa  sawit  secara garis besar dibatasi oleh kelas drainase sedang. Drainase  merupakan  keadaan  tata  air  dalam tubuh  profil  tanah  yang  merupakan  resultan atau hasil akhir dari gerakan air yang turun ke bawah (air perkolasi) dan air aliran permukaan (run  off).  Kedalaman  muka  air  tanah  ikut mempengaruhi  keadaan  drainase  karena gerakan  air  kapiler  kearah  permukaan  tanah ikut  mempengaruhi  basah  atau  keringnya tubuh  tanah.  Air  tanah  yang  tergenang  pada lahan  gambut  mengakibat  kan  profil  terlalu basah,  pori-pori  cenderung  terisi  air  sehingga oksigen/udara  menjadi  kurang.  Pada  lokasi kelas  lahan  S2  ini,  rata-rata  saluran  drainase telah  teratur,  sehingga  kemungkinan  untuk perakaran  kelapa  sawit  relatif  mudah  untuk berkembang (Krisnohadi, 2011).
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman kelapa sawit seringkali doyong atau bahkan roboh . Tanaman kelapa sawit yang doyong ini akan mengalami stress selama 1-2 tahun sehingga semasa ini tanaman tidak mengasilkan produksi. Tanaman kelapa sawit yang tumbang secara umum terjadi pada tanah gambut yang sudah matang sehingga pertumbuhan tanaman sudah cukub baik dan memiliki bobot batang dan daun yang lebih besar sehingga tanah tidak cukup kuat untuk menahan bobot tanaman yang yang besar tersebut, sementara perakaran kurang kuat berjangkar di dalam tanah (Syakir, et al, 2010).
Faktor pembatas atau penghambat utama pengelolaan pertanian di lahan rawa gambut meliputi genangan air , tingginya kemasaman tanah (pH tanah rendah), adanya zat beracun, rendahnya kesuburan tanah; kondisi fisik lahan seperti bobot isi tanah yang ringan, tingkat kematangan dan ketebalan gambut(Agus dan Subiksa, 2008).

 KESIMPULAN 

1.    Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik.
2.    Gambut memiliki sifat yang khas yaitu bersifat subsiden (penurunan  permukaan) dan irreversibel (Kering tak balik).
3.    Agar lahan gambut dapat dimanfaatkan perlu di buat drainase yg baik yaitu dengan membuat saluran primer, saluran skunder dan saluran tersier pada lahan tersebut.
4.    Pertumbuhan kelapa sawit dapat terhambat pada lahan gambut apabila ada faktor pembatas seperti kesuburan tanah renda, pH terlalu rendah, drainase tidak baik.
5.    Produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut menunjukkan hasil 19,1 ton/ha pada gambut dangkal, 16,5 ton/ha pada gambut sedang dan 11, 9 ton/ha pada gambut dalam. Apabila drainase pada lahan gambut bagus maka produktivitas kelapa sawit di lahan gambut mencapai 25-27 ton/ha.



DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman dan Suriadikarta, 2000. Pemanfaatan Lahan Rawa eks PLG Kalimantan  Tengah untuk Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan. Jurnal Litbang Pertanian  (3) hal 19.

Agus, F. 2009. Cadangan karbon, emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan gambut. Prosiding Seminar Dies Natalis Universitas Brawidjaya ke 46, 31 Januari 2009, Malang.

Agus, F dan I.G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian TanahBadan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Ardjakusuma, S., Nuraini, Somantri, E., 2001. Teknik Penyiapan Lahan Gambut Bongkor untuk Tanaman Hortikultura. Buletin Teknik Pertanian. Vol 6 No. 1, 2001. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Arsyad, S. 2011. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor..

Halim, A. 1987. Pengaruh pencampuran tanah mineral dan basa dengan tanah gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya tanaman kedelai. Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor.

Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.

Krisnohaadi, A. 2011. Analisis Pengembangan Lahan Gambut Untuk Tanaman Kelapa Sawit Kabupaten Kubu Raya. Perkebunan dan Lahan Tropika J. Tek. Perkebunan & PSDL

Kurniawan, H.2010. Pedoman Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun, Direktorat Perlindungan Perkebunan, Jakarta.

Mangoensoekarjo, S dan Haryono Semangun. 2005. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Pahan,  I. 2010.  Panduan  lengkap  Kelapa  sawit.  Managemen Agribisnis  dari  hulu  hingga  hilir.Penebar  Swadaya, Jakarta.

Subiksa, IGM., K. Nugroho, Sholeh and IPG. Widjaja Adhi. 1997. The effect of ameliorants on the chemical properties and productivity of peat soil. In: Rieley and Page (Eds). Pp:321-326. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands.Samara Publishing Limited, UK.

Susanto, A., Sudarto,P., dan Roletha Y. Purba. 2005. Penyakit Penyakit  Eksotis  Pada  Kelapa  Sawit  Pusat  Penelitian Kelapa Sawit. Medan..

Syakir, M., Zulkarnai.P., Syafaruddin., Widi Rumini.2010. Budidaya kelapa Sawit. ASKA MEDIA. Bogor.

Wahyunto, H. Subagjo, S. Ritung, and H. Bekti. 2007.. Wetland International-Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada (WHC).

Widjaja-Adhi, I P.G. 1988. Physical and chemical characteristic of peat soil of Indonesia. Ind. Agric. Res. Dev. J. 10:59-64.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar