PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Kakao (Theobroma cacao. L)
merupakan salah satu tanaman perkebunan yang dikembangkan untuk peningkatan
sumber devisa negara dari sektor nonmigas.Salah satu penyebabnya adalah
minimalnya pengetahuan tentang tahap-tahap proses pengolahan biji kakao dan
pengendalian faktor-faktor proses pengolahan bagi kaum petani, kaum produsen
dan masyarakat. Pengeringan merupakan salah satu faktor yang penting dalam
menentukan mutu cokelat, di samping proses pemanenannya karena mutu biji kakao
ditentukan dari kadar airnya.Kadar air biji kakao setelah dipanen masih tinggi
yaitu sekitar 51% - 60%
(Susanto,
1994)
Masalah yang dihadapi kakao Indonesia adalah rendahnya produktivitas
tanaman yang masih berada di bawah 900 kg/ha/thn dari rata-rata potensi sebesar
2.000 kg/ha/thn. Di antara faktor penyebab rendahnya produktivitas kakao,
mayoritas disebabkan antara lain karena penggunaan bahan tanaman yang kurang
optimal, umur tanaman, serta masalah hama dan penyakit (Wahyudi dan Misnawi,
2007).
Sulistyowati (2009) menyatakan bahwa tanaman kakao merupakan tanaman
yang disukai oleh berbagai jenis organisme. Kelompok serangga merupakan salah
satu jenis hama yang paling banyak menyerang tanaman kakao. Di Indonesia,
jumlah serangga merupakan kelompok hama yang populasinya paling banyak (lebih
dari 130 spesies). Hama utama yang menyerang tanaman kakao di Sumatera Barat
adalah penggerek buah kakao/PBK (Conopomorpha cramerella Snell.;
Lepidoptera, Gracillariidae), kepik pengisap buah (Helopeltis antonii Sign.;
Hemiptera, Miridae), serta tupai (Disbun Sumbar, 2011).
Hama PBK dapat menurunkan hasil panen sampai 82,2 % (Wardoyo, 1980 cit.
Depparaba, 2002). Selain itu, PBK juga dapat menurunkan kualitas hasil panen
akibat menurunnya mutu fisik biji, meningkatnya kandungan sampah dan kandungan
kulit ari, serta menurunnya rendemen dan berat jenis biji kakao (Depparaba,
2002). Hingga bulan Maret 2011, areal tanaman kakao di Sumatera Barat yang
terserang PBK mencapai 944 ha dengan nilai kerugian sebesar Rp. 509.804.000
(Disbun Sumbar, 2011).
Spillane (1995) mengemukakan bahwa kulit
buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber unsur hara tanaman dalam bentuk
kompos, pakan ternak, produksi biogas dan sumber pektin. Sebagai bahan organik,
kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang sangat potensial
sebagai medium tumbuh tanaman. Kadar air untuk kakao lindak sekitar 86 %, dan
kadar bahan organiknya sekitar 55,7% (Soedarsono dkk, 1997). Menurut Didiek dan
Yufnal (2004) kompos kulit buah kakao mempunyai pH 5,4, N total 1,30%, C
organik 33,71%, P2O5
0,186%, K2O 5,5%, CaO
0,23%, dan MgO 0,59%.
Limbah kulit buah kopi memiliki kadar bahan organik dan unsur hara yang
memungkinkan untuk memperbaiki sifat tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kadar C-organik kulit buah kopi adalah 4,53 %, kadar nitrogen 2,98 %, fosfor 0,18
% dan kalium 2,26 %. Selain itu kulit buah kopi juga mengandung unsur Ca, Mg,
Mn, Fe, Cu dan Zn. Dalam 1 ha areal pertanaman kopi akan memproduksi limbah
segar sekitar 1,8 ton setara dengan produksi limbah kering 630 kg (Ditjen
Perkebunan, 2006).
TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan paper ini
adalah untuk mengetahui Aplikasi Pupuk Limbah Kopi terhadap Pertumbuhan Kakao (Theobroma cacao L.)
KEGUNAAN PENULISAN
Adapun kegunaan penulisan ini adalah
sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti praktikum di laboratorium
Budidaya Tanaman Penyegar ,Fakultas
Pertanian,Universitas Sumatera Utara,Medan dan Sebagai bahan informasi
bagi yang membutuhkan.
TINJAUAN PUSTAKA
BOTANI
TANAMAN
Tanaman kakao
dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae ; Divisi :
Spermatophyta ; Sub divisio : Angiospermae; Kelas : Dicotyledoneae ; Ordo :
Malvales ; Family : Sterculiaceae; Genus : Theobroma ; Spesies : Theobroma
cacao L.
(Tjitrosoepomo, 1988).
Kakao memiliki
akar tunggang yang tumbuh lurus ke bawah. Akar lateral pada awal pertumbuhan
tumbuh pada leher akar yang tidak jauh dari permukaan. Sedangkan pada tanaman
dewasa akar – akar sekunder menyebar sekitar 15 – 30 cm di bawah permukaan
tanah. Pertumbuhan akar mencapai 50 cm pada umur 2 tahun dan akan mempunyai
perakaran lengkap setelah tanaman berumur 3 tahun (Sunanto, 1992).
Tanaman kakao
asal biji , setelah mencapai tinggi 0,9-1,5 meter akan berhenti tumbuh dan akan
membentuk jorket (jorquette). Jorket adalah tempat percabangan dari pola
percabangan ortotrop ke plagiotrop dan khas hanya terdapat pada tanaman kakao.
Pembentukan jorket didahului dengan berhentinya pertumbuhan ortotrop karena
ruas-ruasnya tidak memanjang. Pada ujung tunas tersebut stipula (semacam sisik
yang terdapat pada kuntum bunga) dan kuncup ketiak daun serta tunas daun tidak
berkembang. Dari ujung perhentian tersebut kemudian tumbuh 3-6 cabang yang arah
pertumbuhannya condong ke samping membentuk sudut 0-60° dengan arah horizontal.
Cabang-cabang itu disebut dengan cabang-cabang primer (cabang plagiotrop). Pada
cabang primer tersebut kemudian tumbuh pada cabang-cabang lateral (fan)
sehingga tanaman membentuk tajuk-tajuk yang rimbun (Soenaryo, 1983).
Universitas
Sumatera Utara Pada tanaman kakao dewasa sepanjang batang pokok tumbuh wiwilan
atau tunas air (chupon). Dalam teknik budidaya yang benar, tunas air ini selalu
dibuang, tetapi pada tanaman kakao liar, tunas air tersebut akan membentuk
batang dan jorket yang baru sehingga tanaman mempunyai jorket yang tersusun
(Mamangkey, 1983).
Sama dengan
sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat dimorfis (dua bentuk
percabangan). Tangkai daunnya berbentuk silinder dan bersisik halus, bergantung
pada tipenya. Daun cokelat terdiri atas tangkai daun dan helai daun. Panjang
daun berkisar 25 – 34 cm dan lebarnya 9 – 12 cm. Daun yang tumbuh pada ujung –
ujung tunas biasanya berwarna merah dan disebut daun flus, permukaannya sutera.
Setelah dewasa, warna daun akan berubah menjadi hijau dan permukaannya kasar.
Pada umumnya daun – daun yang terlindung lebih tua warnanya bila dibandingkan
dengan daun yang langsung terkena sinar matahari (Soenaryo, 1983 ; Siregar,
dkk., 2000).
Tanaman kakao
bersifat kauliflori. Artinya bunga tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun
pada batang dan cabang. Tempat tumbuh bunga tersebut semakin lama semakin
membesar dan menebal atau biasa disebut dengan bantalan bunga (cushion). Bunga
kakao disusun oleh 5 daun kelopak yang bebas satu sama lain, 5 daun mahkota, 10
tangkai sari yang tersusun dalam 2 lingkar yang tersusun dari 5 tangkai sari
tetapi hanya 1 tangkai sari yang fertil, dan 5 daun buah yang bersatu.
Bunga kakao
berwarna putih, ungu atau kemerahan. Warna yang kuat terdapat pada benang sari
dan daun mahkota. Warna bunga ini khas untuk setiap kultivar. Tangkai bunga
kecil tetapi panjang (1-1,5 cm). Daun mahkotanya panjang 6-8 mm, terdiri atas
dua bagian. Bagian pangkal berbentuk seperti kuku 5 Universitas Sumatera Utara
binatang (claw) dan biasanya terdapat dua garis merah. Bagian ujung berupa
lembaran tipis, fleksibel dan berwarna putih (Hartobudoyo, 1995).
Warna buah kakao
sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya ada dua macam warna. Buah yang
ketika masih muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika sudah masak akan
berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda berwarna merah, setelah
masak berwarna jingga/orange. Kulit buah memiliki 10 alur dalam dan dangkal
yang letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan trinitario alur buah
kelihatan jelas. Kulit buah tebal tetapi lunak dan permukaannya kasar.
Sebaliknya pada tipe forasero, permukaan kulit buah pada umumnya halus (rata),
kulitnya tipis tetapi keras dan liat (Tjitrosoepomo, 1988 ; Hartobudoyo, 1995)
Biji tersusun
dalam lima baris mengelilingi poros buah. Jumlahnya beragam, yaitu 20-50 butir
perbuah. Jika dipotong melintang, tampak bahwa biji disusun oleh dua kotiledon
yang saling melipat dab bagian pangkalnya menempel pada poros lembaga. Warna
kotiledon putih, biji dibungkus oleh daging buah yang berwarna putih dan
rasanya asam manis (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Syarat
Tumbuh
Iklim Tanaman
kakao dapat tumbuh subur dan berbuah banyak di daerah yang mempunyai ketinggian
1-600 m dpl, walaupun dapat tumbuh juga sampai pada ketinggian 800 m dpl. Suhu
sehari – hari yang terbaik untuk tanaman cokelat 6 Universitas Sumatera Utara
adalah sekitar 240 -28 0C, dan kelembaban udaranya konstan dan relatif tinggi,
yakni sekitar 80% (Sunanto, 1992).
Pertumbuhan dan
produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat
tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif
sedikit tetapi merata sepanjang tahun.Areal penanaman cokelat yang ideal adalah
daerah – daerah bercurah hujan 1.100 – 3.000 mm per tahun (Siregar, dkk.,
2000).
Pada tanaman
kakao muda dalam melakukan proses fotosintesis menghendaki intensitas cahaya
rendah, setelah itu berangsur- angsur memerlukan intensitas cahaya yang lebih
tinggi sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Intensitas cahaya matahari
bagi tanaman kakao yang berumur antara 12 – 18 bulan sekitar 30 – 60% dari sinar
penuh, sedangkan untuk tanaman yang menghasilkan menghendaki intensitas cahaya
matahari sekitar 50- 75% dari sinar matahari penuh (Syamsulbahri, 1996).
Daun kakao
umumnya lebih besar dibandingkan dengan daun kopi, sehingga akan lebih muda
rusak bila diterpa angin kencang. Angin yang kuat (lebih dari 10 m/detik)
berpengaruh buruk terhadap tanaman cokelat. Lebih – lebih angin yang datangnya
dari laut yang mengandung garam akan memberikan pengaruh buruk, karena dapat
menyebabkan kerusakan mekanis, daun – daun gugur, pucuk – pucuk layu dan
penyerbukan gagal. Kecepatan angin yang baik adalah 2 – 5 m/detik, karena dapat
membantu penyerbukan. Penanaman pohon pelindung untuk tanaman cokelatdapat
mengurangi kecepatan angin dan menjaga kelembaban kebun (Sunanto, 1992).
Tanah
Tanaman kakao
dapat tumbuh pada tanah yang memiliki kisaran pH 4,0 – 8,5. Namun pH yang ideal
adalah 6,0 – 7,5 dimana unsur-unsur hara dalam tanah dapat tersedia bagi
tanaman. pada pH yang tinggi misalnya lebih dari 8,0 kemungkinan tanaman akan
kekurangan unsur hara dan akan keracunan Al, Mn dan Fe pada pH rendah, misalnya
kurang dari 4,0 (Susanto, 1994).
Tanaman kakao
membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu di atas 3%. Kadar bahan
organik yang tinggi akan memperbaiki struktur tanah, biologi tanah, kemampuan
penyerapan (absorbsi) hara, dan daya simpan lengas tanah. Tingginya kemampuan
absorbsi menandakan bahwa daya pegang tanah terhadap unsur – unsur hara cukup
tinggi dan selanjutnya melepaskannya untuk diserap akar tanaman (Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Tekstur tanah
yang baik untuk tanaman cokelat adalah lempung liat berpasir dengan komposisi
30 – 40% fraksi liat, 50% pasir dan 10 – 20% debu. Susunan demikian akan
mempengaruhi ketersediaan air dan hara serta aerasi tanah, Struktur tanah yang
remah dengan agregat yang mantap menciptakan gerakan air dan udara di dalam
tanah sehingga menguntungkan bagi akar. Tanah tipe latosol yang memiliki fraksi
liat yang tingginya ternyata sangat kurang menguntungkan tanman cokelat,
sedangkan tanah regosol dengan tekstur lempung berliat walaupun mengandung
kerikil masih baik bagi tanaman cokelat (Siregar dkk., 2000).
APLIKASI
PUPUK KULIT KOPI TERHADAP PERTUMBUHAN KAKAO (Theobroma Cacao L.)
Pupuk
Kulit Kopi
Limbah kopi merupakan salah satu contoh pupuk organik. Pupuk organik
merupakan pupuk dengan bahan dasar yang diambil dari alam dengan jumlah dan
jenis unsur hara yang terkandung secara alami. Dalam pemberian pupuk untuk
tanaman, ada beberapa hal yang harus diingat, yaitu ada tidaknya pengaruh
terhadap perkembangan sifat tanah (fisik, kimia maupun biologi) yang merugikan
serta ada tidaknya gangguan keseimbangan unsur hara dalam tanah yang akan
berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara tertentu oleh tanaman (Musnawar,
2007).
Kopi termasuk tanaman yang
menghasilkan limbah hasil sampingan yang cukup besar dari hasil pengolahan.
Limbah sampingan tersebut berupa kulit kopi yang jumlahnya berkisar antara 50 -
60 persen dari hasil panen. Bila hasil panen sebanyak 1000kg kopi segar
berkulit, maka yang menjadi biji kopi sekitar 400-500kg dan sisanya adalah
hasil sampingan berupa kulit kopi. Limbah kulit kopi belum dimanfaatkan petani
secara optimal. Padahal kulit kopi bisa dimanfaatkan sebagai bahan dasar
pembuatan pupuk kompos (Puslitkoka, 2005) dan bisa digunakan sebagai pakan
karena kulit kopi mempunyai kecernaan protein sebesar 65% dan 51,4% untuk kulit
biji (Azmi dan Gunawan, 2006).
Penambahan bahan organik berupa
pemberian kompos kulit kopi dapat memenuhi nutrisi untuk pembentukan daun. Hal
ini didukung oleh (Sudiarto dan Gusmani, 2004) yang mengatakan bahwa secara
umum pengomposan dengan sistem aerobik termasuk pengomposan limbah kulit kopi
adalah modifikasi yang terjadi secara biologis pada struktur kimia atau biologi
dengan kehadiran oksigen.
Dalam proses ini banyak koloni bakteri
yang berperan, yang ditandai dengan adanya perubahan temperatur. Pada saat
limbah kopi mengalami proses dekomposisi, nitrogen dibebaskan dalam bentuk
kation NH4+ (amonium). Kecepatan proses ini tergantung kepada ratio antara
unsur karbon – nitrogen (C/N).
Apabila rasio C/N rendah, proses
perombakan akan berjalan lebih cepat. Bentuk ion NH4+ yang dibebaskan dapat
secara langsung diserap oleh tanaman, dimanfaatkan oleh mikroorganisme tanah,
atau diubah menjadi bentuk anion NO3- (nitrat), sehingga di dalam tanah
ditemukan nitrogen berbentuk nitrat lebih banyak dibandingkan dengan bentuk
amonium. Pada umumnya tanaman lebih banyak menyerap nitrogen dalam bentuk
nitrat.
Kandungan limbah Kulit
Kopi
Limbah kulit buah kopi memiliki kadar bahan organik dan unsur hara yang
memungkinkan untuk memperbaiki sifat tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kadar C-organik kulit buah kopi adalah 4,53 %, kadar nitrogen 2,98 %, fosfor
0,18 % dan kalium 2,26 %. Selain itu kulit buah kopi juga mengandung unsur Ca,
Mg, Mn, Fe, Cu dan Zn. Dalam 1 ha areal pertanaman kopi akan memproduksi limbah
segar sekitar 1,8 ton setara dengan produksi limbah kering 630 kg (Ditjen
Perkebunan, 2006).
Kulit kopi mempunyai kandungan BK=91.77,
PK=11.18, LK=2.5, SK=21.74 dan TDN=57.20% Namun demikian kulit kopi hanya
sebagian kecil dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia dan sebagian besar
lainnya dibuang atau dibenamkan dalam tanah untuk digunakan sebagai pupuk
organik pada lahan perkebunan (Amonimus,
2005).
Aplikasi kompos kulit
kopi 200% (30 Mg ha-1) meningkatkan kandungan C
organik tanah 2,56% dan nilai N total 0,18% pada aplikasi kompos kulit kopi (30
Mg ha-1). pH tertinggi terdapat pada aplikasi 200% (30 Mg
ha-1) kompos yaitu 6,19, Sedangkan nilai P tertinggi
yaitu 26,64 mg kg-1dengan aplikasi kompos 75% (10
Mg ha-1) dan K tertinggi terdapat pada aplikasi 200% (30
Mg ha-1) kompos yaitu 0,51 me 100 g-1. 200% aplikasi kompos mampu menurunkan berat isi
Inceptisol Dau yaitu 1,12 g cm-3, dan pada
perlakuan tersebut juga dapat meningkatkan nilai porositas tanah hingga 50,03%.
Aplikasi yang dapat meningkatkan kemantapan agregat terdapat pada perlakuan
200% kompos yaitu 1,4 mm. Selain itu pada aplikasi 50% (7 Mg ha-1) kompos dapat menghasilkan tinggi tanaman 37,43
cm. Aplikasi 7 Mg ha-1juga dapat meningkatkan
produksi brokoli yaitu 526,30 g tan-1.
Hasil analisis Kualitas kimia kompos yang dihasilkan dari
limbah kulit kopi menggunakan aktivator EM4 untuk Suhu = 300C, Kadar Fe =
0,48%, Kadar CaO = 1,08%, Kadar Air = 50,16%, Kadar C-Organik = 26,65% memenuhi
Standar SNI 19-7030-2004 kecuali pH = 9,34 belum memenuhi Standar SNI
19-7030-2004 sedangkan menggunakan aktivator Stardec untuk Suhu = 290C, Kadar
Fe = 0,32%, Kadar CaO = 0,99%, Kadar Air = 46,25%, Kadar C-Organik = 27,34%
memenuhi Standar SNI 19-7030-2004 kecuali pH belum memenuhi Standar SNI yaitu
8,49.
Teknik Aplikasi Pupuk
Kopi
Menurut cara aplikasinya, pupuk buatan
dibedakan menjadi dua yaitu pupuk daun dan pupuk akar. Pupuk daun diberikan
lewat penyemprotan pada daun tanaman. Contoh pupuk daun adalah Gandasil B dan
D, Grow More, dan Vitabloom. Pupuk akar diserap tanaman lewat akar dengan cara
penebaran di tanah. Contoh pupuk akar adalah urea, NPK, dan Dolomit.
Manfaat Pupuk Limbah
Kopi
Aplikasi kompos kulit kopi 200% (30 Mg ha-1) meningkatkan kandungan C organik tanah 2,56% dan
nilai N total 0,18% pada aplikasi kompos kulit kopi (30 Mg ha-1). pH tertinggi terdapat pada aplikasi 200% (30 Mg
ha-1) kompos yaitu 6,19, Sedangkan nilai P tertinggi
yaitu 26,64 mg kg-1dengan aplikasi kompos 75% (10
Mg ha-1) dan K tertinggi terdapat pada aplikasi 200% (30
Mg ha-1) kompos yaitu 0,51 me 100 g-1.
200% aplikasi kompos
mampu menurunkan berat isi Inceptisol Dau yaitu 1,12 g cm-3, dan pada perlakuan tersebut juga dapat
meningkatkan nilai porositas tanah hingga 50,03%. Aplikasi yang dapat
meningkatkan kemantapan agregat terdapat pada perlakuan 200% kompos yaitu 1,4
mm. Selain itu pada aplikasi 50% (7 Mg ha-1) kompos dapat
menghasilkan tinggi tanaman 37,43 cm. Aplikasi 7 Mg ha-1juga dapat meningkatkan produksi brokoli yaitu
526,30 g tan-1.
Limbah kulit kopi merupakan sumber bahan
organik yang tersedia cukup melimpah di sentra produksi kopi. Limbah kulit kopi
yang telah hancur menjadi bubuk, mengandung 1,88% N; 2,04% K; 0,5% Ca; 0,39% Mg
(Trisilawati., Gusmaini dalam Sudiarti., Gusmini, 2004). Menurut Etika (2007),
didalam pengomposan diperlukan pendekomposisi yang baik untuk mendukung proses
pengomposan kulit kopi.
Salah satu bahan yang diberikan adalah
kotoran hewan atau pupuk kandang agar dapat mempercepat proses dekomposisi
kulit kopi. Selain dapat mempercepat dekomposisi, penambahan bahan organik lain
juga dapat memperkaya kandungan kompos (Trisilawati dan Gusmaini, 1999).
Proses Pengolahan
Limbah Kulit Kopi
Limbah kulit kopi yang
diperoleh dari proses pengolahan kopi dari biji utuh menjadi kopi bubuk. Proses
pengolahan kopi ada 2 macam, yaitu (1) Pengolahan kopi merah/masak dan (2)
Pengolahan kopi hijau/mentah. Pengolahan kopi merah diawali dengan pencucian
dan perendaman serta pengupasan kulit luar, proses ini menghasilkan 65% biji
kopi dan 35% limbah kulit kopi.
Limbah kopi sebagian
besar dimanfaatkan sebagai pupuk pada tanaman kopi dan tanaman disekitarnya,
sebagian kecil digunakan sebagai media budidaya jamur serta dimanfaatkan
sebagai bahan jamu tradisional.
Biji kopi kemudian
dikeringkan dengan oven dan hasilnya adalah biji kopi kering oven sebanyak 31%,
kemudian kopi ini digiling dan menghasilkan 21% beras kopi (kopi bubuk) dan 10%
berupa limbah kulit dalam.Limbah yang dihasilkan dari proses ini (kulit dalam)
pada umumnya dimanfaatkan sebagai pupuk, namun sebagian diantaranya
dimanfaatkan oleh pengrajin jamu tradisional sebagai bahan jamu (Muryanto dkk,
2004)
Karena
kompos merupakan semua bahan organik yang telah mengalami
degradasi/penguraian/pengomposan sehingga berubah yang sudah tidak bisa
dikenali bentuk aslinya, berwarna kehitam-hitaman dan tidak berbau. Pupuk yang
dibuat dari kotoran hewan disebut pupuk kandang, sedang humus adalah hasil
proses humifikasi atau perubahan-perubahan lebih lanjut dari kompos. Proses
pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung dalam waktu
yang cukup lama, yang memerlukan waktu 2 – 3 bulan bahkan ada yang 6 – 12 bulan tergantung dari bahannya,
sementara untuk membuat pupuk kandang diperlukan waktu 2 – 3 bulan.
Faktor Yang Mempengaruhi Pengomposan Kulit Kopi
Kompos merupakan dekomposisi parsial atau tidak lengkap, dipercepat secara artifisial dari
campuran bahan-bahan organik oleh pupulasi berbagai macam mikroba dalam konsisi
lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik (Crawford, 2003). Menurut Haung (1980), pengomposan dapat dilakukan pada
kondisi aerobik dan anaerobik. Pengomposan aerobik adalah dekomposisi bahan
organik dengan kehadiran oksigen (udara), dengan produk utamanya adalah
karbondioksida, air dan panas. Pengomposan anaerobik adalah dekomposisi bahan
organik dalam kondisi ketidakhadiran oksigen bebas.
Proses pengomposan ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor
fisis, kimia, maupun biologi. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
pengomposan antara lain: (Murbandono, 2002)
·
Bahan
baku, yaitu bahan yang digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan kompos.
Pada bahan baku yang lebih lunak akan lebih cepat terurai menjadi kompos
daripada yang agak keras.
·
Temperatur/suhu:
suhu yang kurang atau berlebih akan menyebabkan bakteri pengurai tidak bisa
berkembang dengan baik sehingga proses pengomposan juga akan semakin lama.
·
pH:
semakin tinggi kadar pH maka akan semakin cepat proses pengomposan
·
Air
dan udara: kalau air kurang maka bahan akan bercendawan, dan kalau kelebiahan
air akan menyebabkan keadaan menjadi anaerob.
·
Kelembapan: Kelembaban yang tinggi akan menyebabkan volume udara menjadi
berkurang, timbunan yang semakin basah maka harus sering diaduk.
·
Rasio
C/N: semakin mendekati rasio C/N tanah maka bahan tersebut akan lebih cepat
menjadi kompos.
·
Ukuran
Partikel: Semakin besar ukuran partikel maka akan semakin lama proses
pengomposan atau sebaliknya.
·
Kandungan Nitrogen:
Semakin banyak kandungan N, bahan baku akan semakin cepat terurai.
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen
Perkebunan. 2006. Pemanfaatan Limbah Perkebunan. Dikutip dari
http://ditjenbun.deptan.go.id/perbenpro/images/stories/Pdf/pedomanlimbahbuku
nop.pdf.Diakses pada tanggal 01 Februari 2012.
Mamangkey,
1983. Greenhouse Operation and Management 2nd Edition. Reston Pubhlishing
Company, Inc, Virgina.
Tjit rosoepomo, S., 1988. Budidaya
Cacaco, Penerbit Kansius. Yogyakarta.
Sarwono, 2008.Pembudidayaan Tanaman
Cokelat, Penebar Swadaya, , Jakarta.
Siregar, T.H.S., S. Riyadi., dan L.
Nuraeni., 1997. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Hasil. Penebar Swadaya,
Jakarta
Soenaryo, 1983. Upaya Meningkatkan
Produksi Cacao. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Sunanto, H., 1992. Cokelat
Pengelolaan Hasil dan Aspek Ekonominya. Kanisus, Yogyakarta
Susanto, F.X., 1994. Tanaman Kakao
Budidaya Pengolahan Hasilnya. Kanisius, Yogyakarta.
Syamsulbahri, 1996, Bercocok Tanam
Perkebunan Tahunan. UGM Press. Yogyakarta.
PPKS,
2008. Aplikasi Kompos TKS Pada Kelapa Sawit TM. Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar