Rabu, 14 September 2016

APLIKASI PUPUK KULIT KOPI TERHADAP PERTUMBUHAN KAKAO (Theobroma Cacao L.)

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kakao (Theobroma cacao. L) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang dikembangkan untuk peningkatan sumber devisa negara dari sektor nonmigas.Salah satu penyebabnya adalah minimalnya pengetahuan tentang tahap-tahap proses pengolahan biji kakao dan pengendalian faktor-faktor proses pengolahan bagi kaum petani, kaum produsen dan masyarakat. Pengeringan merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan mutu cokelat, di samping proses pemanenannya karena mutu biji kakao ditentukan dari kadar airnya.Kadar air biji kakao setelah dipanen masih tinggi yaitu sekitar 51% - 60%
(Susanto, 1994)
Masalah yang dihadapi kakao Indonesia adalah rendahnya produktivitas tanaman yang masih berada di bawah 900 kg/ha/thn dari rata-rata potensi sebesar 2.000 kg/ha/thn. Di antara faktor penyebab rendahnya produktivitas kakao, mayoritas disebabkan antara lain karena penggunaan bahan tanaman yang kurang optimal, umur tanaman, serta masalah hama dan penyakit (Wahyudi dan Misnawi, 2007).
Sulistyowati (2009) menyatakan bahwa tanaman kakao merupakan tanaman yang disukai oleh berbagai jenis organisme. Kelompok serangga merupakan salah satu jenis hama yang paling banyak menyerang tanaman kakao. Di Indonesia, jumlah serangga merupakan kelompok hama yang populasinya paling banyak (lebih dari 130 spesies). Hama utama yang menyerang tanaman kakao di Sumatera Barat adalah penggerek buah kakao/PBK (Conopomorpha cramerella Snell.; Lepidoptera, Gracillariidae), kepik pengisap buah (Helopeltis antonii Sign.; Hemiptera, Miridae), serta tupai (Disbun Sumbar, 2011).
Hama PBK dapat menurunkan hasil panen sampai 82,2 % (Wardoyo, 1980 cit. Depparaba, 2002). Selain itu, PBK juga dapat menurunkan kualitas hasil panen akibat menurunnya mutu fisik biji, meningkatnya kandungan sampah dan kandungan kulit ari, serta menurunnya rendemen dan berat jenis biji kakao (Depparaba, 2002). Hingga bulan Maret 2011, areal tanaman kakao di Sumatera Barat yang terserang PBK mencapai 944 ha dengan nilai kerugian sebesar Rp. 509.804.000 (Disbun Sumbar, 2011).
Spillane (1995) mengemukakan bahwa kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber unsur hara tanaman dalam bentuk kompos, pakan ternak, produksi biogas dan sumber pektin. Sebagai bahan organik, kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang sangat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kadar air untuk kakao lindak sekitar 86 %, dan kadar bahan organiknya sekitar 55,7% (Soedarsono dkk, 1997). Menurut Didiek dan Yufnal (2004) kompos kulit buah kakao mempunyai pH 5,4, N total 1,30%, C organik 33,71%, P2O5 0,186%, K2O 5,5%, CaO 0,23%, dan MgO 0,59%.
Limbah kulit buah kopi memiliki kadar bahan organik dan unsur hara yang memungkinkan untuk memperbaiki sifat tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar C-organik kulit buah kopi adalah 4,53 %, kadar nitrogen 2,98 %, fosfor 0,18 % dan kalium 2,26 %. Selain itu kulit buah kopi juga mengandung unsur Ca, Mg, Mn, Fe, Cu dan Zn. Dalam 1 ha areal pertanaman kopi akan memproduksi limbah segar sekitar 1,8 ton setara dengan produksi limbah kering 630 kg (Ditjen Perkebunan, 2006).
TUJUAN PENULISAN
            Adapun tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui Aplikasi Pupuk Limbah Kopi terhadap Pertumbuhan Kakao (Theobroma cacao L.)
KEGUNAAN PENULISAN
            Adapun kegunaan penulisan ini adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti praktikum di laboratorium Budidaya Tanaman Penyegar ,Fakultas  Pertanian,Universitas Sumatera Utara,Medan dan Sebagai bahan informasi bagi yang membutuhkan.


TINJAUAN PUSTAKA
BOTANI TANAMAN
Tanaman kakao dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae ; Divisi : Spermatophyta ; Sub divisio : Angiospermae; Kelas : Dicotyledoneae ; Ordo : Malvales ; Family : Sterculiaceae; Genus : Theobroma ; Spesies : Theobroma cacao L.
(Tjitrosoepomo, 1988).
Kakao memiliki akar tunggang yang tumbuh lurus ke bawah. Akar lateral pada awal pertumbuhan tumbuh pada leher akar yang tidak jauh dari permukaan. Sedangkan pada tanaman dewasa akar – akar sekunder menyebar sekitar 15 – 30 cm di bawah permukaan tanah. Pertumbuhan akar mencapai 50 cm pada umur 2 tahun dan akan mempunyai perakaran lengkap setelah tanaman berumur 3 tahun (Sunanto, 1992).
Tanaman kakao asal biji , setelah mencapai tinggi 0,9-1,5 meter akan berhenti tumbuh dan akan membentuk jorket (jorquette). Jorket adalah tempat percabangan dari pola percabangan ortotrop ke plagiotrop dan khas hanya terdapat pada tanaman kakao. Pembentukan jorket didahului dengan berhentinya pertumbuhan ortotrop karena ruas-ruasnya tidak memanjang. Pada ujung tunas tersebut stipula (semacam sisik yang terdapat pada kuntum bunga) dan kuncup ketiak daun serta tunas daun tidak berkembang. Dari ujung perhentian tersebut kemudian tumbuh 3-6 cabang yang arah pertumbuhannya condong ke samping membentuk sudut 0-60° dengan arah horizontal. Cabang-cabang itu disebut dengan cabang-cabang primer (cabang plagiotrop). Pada cabang primer tersebut kemudian tumbuh pada cabang-cabang lateral (fan) sehingga tanaman membentuk tajuk-tajuk yang rimbun (Soenaryo, 1983).
Universitas Sumatera Utara Pada tanaman kakao dewasa sepanjang batang pokok tumbuh wiwilan atau tunas air (chupon). Dalam teknik budidaya yang benar, tunas air ini selalu dibuang, tetapi pada tanaman kakao liar, tunas air tersebut akan membentuk batang dan jorket yang baru sehingga tanaman mempunyai jorket yang tersusun (Mamangkey, 1983).
Sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat dimorfis (dua bentuk percabangan). Tangkai daunnya berbentuk silinder dan bersisik halus, bergantung pada tipenya. Daun cokelat terdiri atas tangkai daun dan helai daun. Panjang daun berkisar 25 – 34 cm dan lebarnya 9 – 12 cm. Daun yang tumbuh pada ujung – ujung tunas biasanya berwarna merah dan disebut daun flus, permukaannya sutera. Setelah dewasa, warna daun akan berubah menjadi hijau dan permukaannya kasar. Pada umumnya daun – daun yang terlindung lebih tua warnanya bila dibandingkan dengan daun yang langsung terkena sinar matahari (Soenaryo, 1983 ; Siregar, dkk., 2000).
Tanaman kakao bersifat kauliflori. Artinya bunga tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Tempat tumbuh bunga tersebut semakin lama semakin membesar dan menebal atau biasa disebut dengan bantalan bunga (cushion). Bunga kakao disusun oleh 5 daun kelopak yang bebas satu sama lain, 5 daun mahkota, 10 tangkai sari yang tersusun dalam 2 lingkar yang tersusun dari 5 tangkai sari tetapi hanya 1 tangkai sari yang fertil, dan 5 daun buah yang bersatu.
Bunga kakao berwarna putih, ungu atau kemerahan. Warna yang kuat terdapat pada benang sari dan daun mahkota. Warna bunga ini khas untuk setiap kultivar. Tangkai bunga kecil tetapi panjang (1-1,5 cm). Daun mahkotanya panjang 6-8 mm, terdiri atas dua bagian. Bagian pangkal berbentuk seperti kuku 5 Universitas Sumatera Utara binatang (claw) dan biasanya terdapat dua garis merah. Bagian ujung berupa lembaran tipis, fleksibel dan berwarna putih (Hartobudoyo, 1995).
Warna buah kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya ada dua macam warna. Buah yang ketika masih muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika sudah masak akan berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda berwarna merah, setelah masak berwarna jingga/orange. Kulit buah memiliki 10 alur dalam dan dangkal yang letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan trinitario alur buah kelihatan jelas. Kulit buah tebal tetapi lunak dan permukaannya kasar. Sebaliknya pada tipe forasero, permukaan kulit buah pada umumnya halus (rata), kulitnya tipis tetapi keras dan liat (Tjitrosoepomo, 1988 ; Hartobudoyo, 1995)
Biji tersusun dalam lima baris mengelilingi poros buah. Jumlahnya beragam, yaitu 20-50 butir perbuah. Jika dipotong melintang, tampak bahwa biji disusun oleh dua kotiledon yang saling melipat dab bagian pangkalnya menempel pada poros lembaga. Warna kotiledon putih, biji dibungkus oleh daging buah yang berwarna putih dan rasanya asam manis (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Syarat Tumbuh
Iklim Tanaman kakao dapat tumbuh subur dan berbuah banyak di daerah yang mempunyai ketinggian 1-600 m dpl, walaupun dapat tumbuh juga sampai pada ketinggian 800 m dpl. Suhu sehari – hari yang terbaik untuk tanaman cokelat 6 Universitas Sumatera Utara adalah sekitar 240 -28 0C, dan kelembaban udaranya konstan dan relatif tinggi, yakni sekitar 80% (Sunanto, 1992).
Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun.Areal penanaman cokelat yang ideal adalah daerah – daerah bercurah hujan 1.100 – 3.000 mm per tahun (Siregar, dkk., 2000).
Pada tanaman kakao muda dalam melakukan proses fotosintesis menghendaki intensitas cahaya rendah, setelah itu berangsur- angsur memerlukan intensitas cahaya yang lebih tinggi sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Intensitas cahaya matahari bagi tanaman kakao yang berumur antara 12 – 18 bulan sekitar 30 – 60% dari sinar penuh, sedangkan untuk tanaman yang menghasilkan menghendaki intensitas cahaya matahari sekitar 50- 75% dari sinar matahari penuh (Syamsulbahri, 1996).
Daun kakao umumnya lebih besar dibandingkan dengan daun kopi, sehingga akan lebih muda rusak bila diterpa angin kencang. Angin yang kuat (lebih dari 10 m/detik) berpengaruh buruk terhadap tanaman cokelat. Lebih – lebih angin yang datangnya dari laut yang mengandung garam akan memberikan pengaruh buruk, karena dapat menyebabkan kerusakan mekanis, daun – daun gugur, pucuk – pucuk layu dan penyerbukan gagal. Kecepatan angin yang baik adalah 2 – 5 m/detik, karena dapat membantu penyerbukan. Penanaman pohon pelindung untuk tanaman cokelatdapat mengurangi kecepatan angin dan menjaga kelembaban kebun (Sunanto, 1992).
Tanah
Tanaman kakao dapat tumbuh pada tanah yang memiliki kisaran pH 4,0 – 8,5. Namun pH yang ideal adalah 6,0 – 7,5 dimana unsur-unsur hara dalam tanah dapat tersedia bagi tanaman. pada pH yang tinggi misalnya lebih dari 8,0 kemungkinan tanaman akan kekurangan unsur hara dan akan keracunan Al, Mn dan Fe pada pH rendah, misalnya kurang dari 4,0 (Susanto, 1994).
Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu di atas 3%. Kadar bahan organik yang tinggi akan memperbaiki struktur tanah, biologi tanah, kemampuan penyerapan (absorbsi) hara, dan daya simpan lengas tanah. Tingginya kemampuan absorbsi menandakan bahwa daya pegang tanah terhadap unsur – unsur hara cukup tinggi dan selanjutnya melepaskannya untuk diserap akar tanaman (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Tekstur tanah yang baik untuk tanaman cokelat adalah lempung liat berpasir dengan komposisi 30 – 40% fraksi liat, 50% pasir dan 10 – 20% debu. Susunan demikian akan mempengaruhi ketersediaan air dan hara serta aerasi tanah, Struktur tanah yang remah dengan agregat yang mantap menciptakan gerakan air dan udara di dalam tanah sehingga menguntungkan bagi akar. Tanah tipe latosol yang memiliki fraksi liat yang tingginya ternyata sangat kurang menguntungkan tanman cokelat, sedangkan tanah regosol dengan tekstur lempung berliat walaupun mengandung kerikil masih baik bagi tanaman cokelat (Siregar dkk., 2000). 

APLIKASI PUPUK KULIT KOPI TERHADAP PERTUMBUHAN KAKAO (Theobroma Cacao L.)
Pupuk Kulit Kopi
Limbah kopi merupakan salah satu contoh pupuk organik. Pupuk organik merupakan pupuk dengan bahan dasar yang diambil dari alam dengan jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung secara alami. Dalam pemberian pupuk untuk tanaman, ada beberapa hal yang harus diingat, yaitu ada tidaknya pengaruh terhadap perkembangan sifat tanah (fisik, kimia maupun biologi) yang merugikan serta ada tidaknya gangguan keseimbangan unsur hara dalam tanah yang akan berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara tertentu oleh tanaman (Musnawar, 2007).
Kopi termasuk tanaman yang menghasilkan limbah hasil sampingan yang cukup besar dari hasil pengolahan. Limbah sampingan tersebut berupa kulit kopi yang jumlahnya berkisar antara 50 - 60 persen dari hasil panen. Bila hasil panen sebanyak 1000kg kopi segar berkulit, maka yang menjadi biji kopi sekitar 400-500kg dan sisanya adalah hasil sampingan berupa kulit kopi. Limbah kulit kopi belum dimanfaatkan petani secara optimal. Padahal kulit kopi bisa dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan pupuk kompos (Puslitkoka, 2005) dan bisa digunakan sebagai pakan karena kulit kopi mempunyai kecernaan protein sebesar 65% dan 51,4% untuk kulit biji (Azmi dan Gunawan, 2006).
Penambahan bahan organik berupa pemberian kompos kulit kopi dapat memenuhi nutrisi untuk pembentukan daun. Hal ini didukung oleh (Sudiarto dan Gusmani, 2004) yang mengatakan bahwa secara umum pengomposan dengan sistem aerobik termasuk pengomposan limbah kulit kopi adalah modifikasi yang terjadi secara biologis pada struktur kimia atau biologi dengan kehadiran oksigen.
Dalam proses ini banyak koloni bakteri yang berperan, yang ditandai dengan adanya perubahan temperatur. Pada saat limbah kopi mengalami proses dekomposisi, nitrogen dibebaskan dalam bentuk kation NH4+ (amonium). Kecepatan proses ini tergantung kepada ratio antara unsur karbon – nitrogen (C/N).
Apabila rasio C/N rendah, proses perombakan akan berjalan lebih cepat. Bentuk ion NH4+ yang dibebaskan dapat secara langsung diserap oleh tanaman, dimanfaatkan oleh mikroorganisme tanah, atau diubah menjadi bentuk anion NO3- (nitrat), sehingga di dalam tanah ditemukan nitrogen berbentuk nitrat lebih banyak dibandingkan dengan bentuk amonium. Pada umumnya tanaman lebih banyak menyerap nitrogen dalam bentuk nitrat.
Kandungan limbah Kulit Kopi
Limbah kulit buah kopi memiliki kadar bahan organik dan unsur hara yang memungkinkan untuk memperbaiki sifat tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar C-organik kulit buah kopi adalah 4,53 %, kadar nitrogen 2,98 %, fosfor 0,18 % dan kalium 2,26 %. Selain itu kulit buah kopi juga mengandung unsur Ca, Mg, Mn, Fe, Cu dan Zn. Dalam 1 ha areal pertanaman kopi akan memproduksi limbah segar sekitar 1,8 ton setara dengan produksi limbah kering 630 kg (Ditjen Perkebunan, 2006).
Kulit kopi mempunyai kandungan BK=91.77, PK=11.18, LK=2.5, SK=21.74 dan TDN=57.20% Namun demikian kulit kopi hanya sebagian kecil dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia dan sebagian besar lainnya dibuang atau dibenamkan dalam tanah untuk digunakan sebagai pupuk organik pada lahan perkebunan (Amonimus, 2005).
Aplikasi kompos kulit kopi 200% (30 Mg ha-1) meningkatkan kandungan C organik tanah 2,56% dan nilai N total 0,18% pada aplikasi kompos kulit kopi (30 Mg ha-1). pH tertinggi terdapat pada aplikasi 200% (30 Mg ha-1) kompos yaitu 6,19, Sedangkan nilai P tertinggi yaitu 26,64 mg kg-1dengan aplikasi kompos 75% (10 Mg ha-1) dan K tertinggi terdapat pada aplikasi 200% (30 Mg ha-1) kompos yaitu 0,51 me 100 g-1. 200% aplikasi kompos mampu menurunkan berat isi Inceptisol Dau yaitu 1,12 g cm-3, dan pada perlakuan tersebut juga dapat meningkatkan nilai porositas tanah hingga 50,03%. Aplikasi yang dapat meningkatkan kemantapan agregat terdapat pada perlakuan 200% kompos yaitu 1,4 mm. Selain itu pada aplikasi 50%  (7 Mg ha-1) kompos dapat menghasilkan tinggi tanaman 37,43 cm. Aplikasi 7 Mg ha-1juga dapat meningkatkan produksi brokoli yaitu 526,30 g tan-1.
Hasil analisis Kualitas kimia kompos yang dihasilkan dari limbah kulit kopi menggunakan aktivator EM4 untuk Suhu = 300C, Kadar Fe = 0,48%, Kadar CaO = 1,08%, Kadar Air = 50,16%, Kadar C-Organik = 26,65% memenuhi Standar SNI 19-7030-2004 kecuali pH = 9,34 belum memenuhi Standar SNI 19-7030-2004 sedangkan menggunakan aktivator Stardec untuk Suhu = 290C, Kadar Fe = 0,32%, Kadar CaO = 0,99%, Kadar Air = 46,25%, Kadar C-Organik = 27,34% memenuhi Standar SNI 19-7030-2004 kecuali pH belum memenuhi Standar SNI yaitu 8,49. 
Teknik Aplikasi Pupuk Kopi
Menurut cara aplikasinya, pupuk buatan dibedakan menjadi dua yaitu pupuk daun dan pupuk akar. Pupuk daun diberikan lewat penyemprotan pada daun tanaman. Contoh pupuk daun adalah Gandasil B dan D, Grow More, dan Vitabloom. Pupuk akar diserap tanaman lewat akar dengan cara penebaran di tanah. Contoh pupuk akar adalah urea, NPK, dan Dolomit.
Manfaat Pupuk Limbah Kopi
            Aplikasi kompos kulit kopi 200% (30 Mg ha-1) meningkatkan kandungan C organik tanah 2,56% dan nilai N total 0,18% pada aplikasi kompos kulit kopi (30 Mg ha-1). pH tertinggi terdapat pada aplikasi 200% (30 Mg ha-1) kompos yaitu 6,19, Sedangkan nilai P tertinggi yaitu 26,64 mg kg-1dengan aplikasi kompos 75% (10 Mg ha-1) dan K tertinggi terdapat pada aplikasi 200% (30 Mg ha-1) kompos yaitu 0,51 me 100 g-1.
200% aplikasi kompos mampu menurunkan berat isi Inceptisol Dau yaitu 1,12 g cm-3, dan pada perlakuan tersebut juga dapat meningkatkan nilai porositas tanah hingga 50,03%. Aplikasi yang dapat meningkatkan kemantapan agregat terdapat pada perlakuan 200% kompos yaitu 1,4 mm. Selain itu pada aplikasi 50%  (7 Mg ha-1) kompos dapat menghasilkan tinggi tanaman 37,43 cm. Aplikasi 7 Mg ha-1juga dapat meningkatkan produksi brokoli yaitu 526,30 g tan-1.   
Limbah kulit kopi merupakan sumber bahan organik yang tersedia cukup melimpah di sentra produksi kopi. Limbah kulit kopi yang telah hancur menjadi bubuk, mengandung 1,88% N; 2,04% K; 0,5% Ca; 0,39% Mg (Trisilawati., Gusmaini dalam Sudiarti., Gusmini, 2004). Menurut Etika (2007), didalam pengomposan diperlukan pendekomposisi yang baik untuk mendukung proses pengomposan kulit kopi.
Salah satu bahan yang diberikan adalah kotoran hewan atau pupuk kandang agar dapat mempercepat proses dekomposisi kulit kopi. Selain dapat mempercepat dekomposisi, penambahan bahan organik lain juga dapat memperkaya kandungan kompos (Trisilawati dan Gusmaini, 1999).
Proses Pengolahan Limbah Kulit Kopi
Limbah kulit kopi yang diperoleh dari proses pengolahan kopi dari biji utuh menjadi kopi bubuk. Proses pengolahan kopi ada 2 macam, yaitu (1) Pengolahan kopi merah/masak dan (2) Pengolahan kopi hijau/mentah. Pengolahan kopi merah diawali dengan pencucian dan perendaman serta pengupasan kulit luar, proses ini menghasilkan 65% biji kopi dan 35% limbah kulit kopi.
Limbah kopi sebagian besar dimanfaatkan sebagai pupuk pada tanaman kopi dan tanaman disekitarnya, sebagian kecil digunakan sebagai media budidaya jamur serta dimanfaatkan sebagai bahan jamu tradisional.
Biji kopi kemudian dikeringkan dengan oven dan hasilnya adalah biji kopi kering oven sebanyak 31%, kemudian kopi ini digiling dan menghasilkan 21% beras kopi (kopi bubuk) dan 10% berupa limbah kulit dalam.Limbah yang dihasilkan dari proses ini (kulit dalam) pada umumnya dimanfaatkan sebagai pupuk, namun sebagian diantaranya dimanfaatkan oleh pengrajin jamu tradisional sebagai bahan jamu (Muryanto dkk, 2004)
Karena kompos merupakan semua bahan organik yang telah mengalami degradasi/penguraian/pengomposan sehingga berubah yang sudah tidak bisa dikenali bentuk aslinya, berwarna kehitam-hitaman dan tidak berbau. Pupuk yang dibuat dari kotoran hewan disebut pupuk kandang, sedang humus adalah hasil proses humifikasi atau perubahan-perubahan lebih lanjut dari kompos. Proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung dalam waktu yang cukup lama, yang memerlukan waktu 2 – 3 bulan bahkan ada yang 6 – 12 bulan tergantung dari bahannya, sementara untuk membuat pupuk kandang diperlukan waktu 2 – 3 bulan.
Faktor Yang Mempengaruhi Pengomposan Kulit Kopi
Kompos merupakan dekomposisi parsial atau tidak lengkap, dipercepat secara artifisial dari campuran bahan-bahan organik oleh pupulasi berbagai macam mikroba dalam konsisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik (Crawford, 2003). Menurut Haung (1980), pengomposan dapat dilakukan pada kondisi aerobik dan anaerobik. Pengomposan aerobik adalah dekomposisi bahan organik dengan kehadiran oksigen (udara), dengan produk utamanya adalah karbondioksida, air dan panas. Pengomposan anaerobik adalah dekomposisi bahan organik dalam kondisi ketidakhadiran oksigen bebas.
Proses pengomposan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor fisis, kimia, maupun biologi. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain: (Murbandono, 2002)
·         Bahan baku, yaitu bahan yang digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan kompos. Pada bahan baku yang lebih lunak akan lebih cepat terurai menjadi kompos daripada yang agak keras.
·         Temperatur/suhu: suhu yang kurang atau berlebih akan menyebabkan bakteri pengurai tidak bisa berkembang dengan baik sehingga proses pengomposan juga akan semakin lama.
·         pH: semakin tinggi kadar pH maka akan semakin cepat proses pengomposan
·         Air dan udara: kalau air kurang maka bahan akan bercendawan, dan kalau kelebiahan air akan menyebabkan keadaan menjadi anaerob.
·         Kelembapan: Kelembaban yang tinggi akan menyebabkan volume udara menjadi berkurang, timbunan yang semakin basah maka harus sering diaduk.
·         Rasio C/N: semakin mendekati rasio C/N tanah maka bahan tersebut akan lebih cepat menjadi kompos.
·         Ukuran Partikel: Semakin besar ukuran partikel maka akan semakin lama proses pengomposan atau sebaliknya.
·         Kandungan Nitrogen: Semakin banyak kandungan N, bahan baku akan semakin cepat terurai.




           


DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Perkebunan. 2006. Pemanfaatan Limbah Perkebunan. Dikutip dari http://ditjenbun.deptan.go.id/perbenpro/images/stories/Pdf/pedomanlimbahbuku nop.pdf.Diakses pada tanggal 01 Februari 2012.
Mamangkey, 1983. Greenhouse Operation and Management 2nd Edition. Reston Pubhlishing Company, Inc, Virgina.
Tjit rosoepomo, S., 1988. Budidaya Cacaco, Penerbit Kansius. Yogyakarta.
Sarwono, 2008.Pembudidayaan Tanaman Cokelat, Penebar Swadaya, , Jakarta.
Siregar, T.H.S., S. Riyadi., dan L. Nuraeni., 1997. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Hasil. Penebar Swadaya, Jakarta
Soenaryo, 1983. Upaya Meningkatkan Produksi Cacao. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Sunanto, H., 1992. Cokelat Pengelolaan Hasil dan Aspek Ekonominya. Kanisus, Yogyakarta
Susanto, F.X., 1994. Tanaman Kakao Budidaya Pengolahan Hasilnya. Kanisius, Yogyakarta.
Syamsulbahri, 1996, Bercocok Tanam Perkebunan Tahunan. UGM Press. Yogyakarta.
PPKS, 2008. Aplikasi Kompos TKS Pada Kelapa Sawit TM. Pusat Penelitian Kelapa Sawit.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar