
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Temulawak (Curcuma
xanthorhiza Roxb) merupakan
tanaman obat asli Indonesia disebut juga Curcuma javanica (Badan POM,
2004).Secara tradisional maupun empiris, rimpang temulawak telah
ter-bukti berkhasiat untuk kesehatan. Kebutuhan temulawak untuk Industri Obat
Tradisional (IOT) dan Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) men-duduki
peringkat pertama di Jawa Timur yaitu 3.140,18 ton/tahun rimpang segar dan
peringkat kedua di Jawa Tengah yaitu 361,80 ton/tahun rimpang. Temulawak
dimanfaatkan untuk penyembuhan berbagai jenis penyakit dengan klaim khasiat
cukup banyak (24 jenis penyakit). Oleh karena itu pada tahun 2004 pemerintah
mencanangkan temulawak sebagai Minuman Kesehatan Nasional (Fazlini, dkk.,
2014).
Luas panen temulawak
pada tahun 2000 mencapai 433 ha dengan rata-rata produksi 10,7 ton/ha
(Direktorat Aneka Tanaman, 2000). Angka tersebut lebih rendah dibandingkan
dengan yang diperoleh dari hasil-hasil peneli-tian yaitu 20 ton/ha. Mengingat
rendah-nya produksi yang dapat dicapai petani, sedangkan potensi pemanfaatannya
un-tuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor sangat prospektif, maka
pengembangan temulawak harus diiku-ti oleh cara budidaya yang baik agar
di-peroleh produksi dan mutu yang tinggi serta terstandar baik pada budidaya
or-ganik maupun konvensional (Pribadi
dan Mono, 2007).
Salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk
meningkatkan produktivitas tanaman temulawak adalah sifat unggul tanaman
(varietas), ketersediaan unsur hara (pupuk) seperti asupan bahan organik dan
anorganik, serta aplikasi biochar pada konsentrasi yang optimal, pupuk kandang
diperlukan untuk perkembangan pembentukan rimpang, sedangkan pupuk anorganik
diperlukan untuk menyokong pertumbuhan vegetatif, produksi rimpang dan mutu (Syahid
dan Hadipoentyanti, 2007).
Banyaknya manfaat tanaman tersebut menyebabkan
permintaannya terus meningkat. Produksi rimpang temulawak masih belum optimal
hanya mencapai 20 ton/ha akan tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan
produksi rata – rata nasional 10,7 ton/ha, dengan pemakaian pupuk organik
diharapkan mampu meningkatkan produktivitas temulawak (Fazlini, dkk, 2014).
Tongkol jagung (sekitar 25 – 30%) dan sekam padi
(sekitar 25% dari hasil padi) sebagai limbah pertanian tersedia sangat melimpah
di pusat-pusat produksi dan belum terman-faatkan dengan baik sehingga dianggap
sebagai limbah. Tongkol jagung maupun sekam dapat diproses menjadi biochar (emas
hitam untuk pertanian) yang digunakan sebagai amelioran utama untuk
meningkatkan kandungan bahan organik, menaikkan pH dan produksi berbagai
tanaman. Biochar merupakan senyawa organik berkarbon tinggi (40 – 60%) hasil
proses pyrolisis (karbonisasi) yang resisten terhadap pelapukan sehingga
mampu berfungsi sebagai amelioran organik yang efektif untuk memperbaiki
kesuburan tanah dan mampu bertahan hingga ratusan tahun di dalam tanah
(Sudjana, 2014).
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui Aplikasi Biochar Sekam Padi Dan Pupuk Kandang Ayam Terhadap Pertumbuhan
Dan Hasil Tanaman Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.)
Kegunaan Penulisan
Adapun kegunaan dari penulisan paper ini adalah
untuk memenuhi komponen penilaian pada mata kuliah Budidaya Tanaman Obat dan
Rempah dan sebagai bahan informasi bagi yang membutuhkan.

Botani
Tanaman Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.)
Klasifikasi
tanaman temulawak adalah Kingdom : Plantae, Divisi : Spermatophyta, Sub divisi
: Angiospermae, Kelas : Monocotyledonae, Ordo : Zingiberales, Famili :
Zingiberaceae, Genus : Curcuma, Spesies : Curcuma
xanthorrhiza Roxb.
Temulawak
merupakan terna tahunan (perennial) yang tumbuh berumpun, berbatang basah yang
merupakan batang semu yang terdiri atas gabungan beberapa pangkal daun yang
terpadu. Tinggi tumbuhan temulawak sekitar 2 m (Pribadi dan Mono, 2007).
Daun berbentuk memanjang sampai lanset, panjang daun
50-55 cm dan lebarnya sekitar 15 cm, warna daun hijau tua dengan garis coklat
keunguan. Tiap tumbuhan mempunyai 2 helai daun (Rahardjo dan Nur, 2007).
Tumbuhan temulawak mempunyai ukuran rimpang yang
besar dan bercabang-cabang. Rimpang induk berbentuk bulat atau bulat telur dan
disampingnya terbentuk 3-4 rimpang cabang yang memanjang. Warna kulit rimpang
coklat kemerahan atau kuning tua, sedangkan warna daging rimpang kuning jingga
atau jingga kecoklatan (Pribadi dan
Mono, 2007).
Perbungaan lateral yang keluar dari rimpangnya,
dalam rangkaian bentuk bulir dengan tangkai yang ramping. Bunga mempunyai daun
pelindung yang banyak dan berukuran besar, berbentuk bulat telur sungsang yang
warnanya beraneka ragam (Wijayakusuma, 2007).
Syarat Tumbuh
Iklim
Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di
lahan-lahan yang teduh dan terlindung dari teriknya sinar matahari.Di habitat
alami rumpun tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu atau
jati.Namun demikian temulawak juga dapat dengan mudah ditemukan di tempat yang
terik seperti tanah tegalan. (Pribadi dan Mono, 2007).
Secara umum tanaman ini memiliki daya adaptasi yang
tinggi terhadap berbagai cuaca di daerah beriklim tropis.Suhu udara yang baik
untuk budidaya tanaman ini antara 19-30 ˚C.Tanaman ini memerlukan curah hujan
tahunan antara 1.000-4.000 mm/tahun (Rahardjo dan Nur, 2007).
Tanah
Perakaran temulawak dapat beradaptasi dengan baik
pada berbagai jenis tanah baik tanah berkapur, berpasir, agak berpasir maupun
tanah-tanah berat yang berliat.Namun demikian untuk memproduksi rimpang yang
optimal diperlukan tanah yang subur, gembur dan berdrainase baik.Dengan
demikian pemupukan anorganik dan organik diperlukan untuk memberi unsur hara
yang cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap gembur.Tanah yang mengandung
bahan organik diperlukan untuk menjaga agar tanah tidak mudah tergenang air (Pribadi dan Mono, 2007).

TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Biochar Sekam Padi
Biochar merupakan
arang hayati dari sebuah pembakaran tidak sempurna sehingga menyisakan unsur
hara yang dapat menyuburkan lahan. Jika pembakaran berlangsung sempurna, biochar berubah menjadi abu dan
melepaskan karbon yang nilainya lebih rendah ditinjau dari pertimbangan masalah
lingkungan (Gani,
2010).
Biochar dari
limbah sekam padi cukup berpotensi di Provinsi Lampung mengingat areal sawah di
Lampung tergolong luas. Selain itu, biochar
dari sekam padi juga memiliki kandungan C-organik > 35% dan kandungan
unsur hara makro seperti N, P dan K yang cukup tinggi (Nurida et al.,
2012).Oleh karena itu, limbah sekam dapat diproses menjadi biochar yang dapat dikembalikan ke
tanah sebagai bahan pembenah tanah (Gani, 2010).
Biochar dapat
berfungsi sebagai pembenah tanah, meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan
menambahkan sejumlah nutrisi yang berguna serta meningkatkan sifat fisika dan
biologi tanah. Biochar juga dapat memperbaiki sifat kimia, fisika, dan
biologi tanah. Pencucian N dapat dikurangi secara signifikan dengan pemberian biochar
ke dalam media tanam (Widjaja, 2002).
Karbon hitam yang berasal dari biomassa, atau arang
hayati (biochar),dihasilkan melalui pembakaran pada temperatur 300-5000C dalam
kondisi oksigen yang terbatas. Hasilnya, bahan organik sangat aromatis dengan
konsentrasi karbon 70-80% (Gani, 2010).
Pupuk Kandang Ayam
Salah satu pupuk organik yaitu pupuk kandang, pupuk
kandang merupakan produk buangan dari binatang peliharaan seperti ayam,
kambing, sapi dan kerbau yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki
sifat fisik dan biologi tanah. Kualitas pupuk kandang sangat berpengaruh
terhadap respon tanaman. Pupuk kandang ayam secara umum mempunyai kelebihan
dalam kecepatan penyerapan hara, komposisi hara seperti N, P, K dan Ca
dibandingkan pupuk kandang sapi dan kambing (Widowati, dkk., 2004).
Pengunaan pupuk kandang ayam berfungsi untuk
memperbaiki struktur fisik dan biologi tanah, menaikan daya serap tanah
terhadap air. Pemberian pupuk kandang berpengaruh dalam meningkatkan Al-dd dan
menurunkan pH, hal ini disebabkan karena bahan organik dari pupuk kandang dapat
menetralisir sumber kemasaman tanah. Pupuk kandang juga akan menyumbangkan
sejumlah hara kedalam tanah yang dapat berfungsi guna menunjang pertumbuhan dan
perkembangannya, seperti N, P, K (Wulandari, 2011).
Aplikasi Biochar
Sekam Padi Dan Pupuk Kandang Ayam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman
Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.)
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu dari
sembilan jenis tanaman unggulan dari Ditjen POM yang memiliki banyak manfaat
sebagai bahan obat. Tanaman ini telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
secara luas, baik dipergunakan oleh masyaraka tdalam pemeliharaan dan peningkatan
derajat kesehatan ataupengobatan penyakit, maupun dalam industri obat
tradisional dan kosmetika (Yusron,
2009).
Produksi dan mutu temulawak sangat dipengaruhi oleh
teknologi budidaya salah satunya adalah pemupukan. Secara umum dosis pupuk
anorganik yang harus diberikan untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil panen
temulawak adalah : urea, SP-36 dan KCl, dengan dosis masing-masing 200 kg, 100
kg dan 100 kg/ha untuk pola monokultur, serta 200 kg/ha untuk pola tumpangsari.
SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam, urea diberikan 3 kali yaitu, pada umur
1, 2 dan 3 bulan se-telah tanam masing-masing sepertiga bagian (Rahardjo dan
Rostiana, 2005).
Penggunaan abu sekam padi dapat memperbaiki sifat
kimia tanah. Kandungan kalium dan Fosfor alam yang terkandung pada abu sekam
padi mampu meningkatkan KTK, menaikkan pH, membantu dalam ketersediaan Kalium,
Fosfor, bahan organik, serta Magnesium. Abu sekam padi juga dapat memperbaiki
sifat fisik tanah antara lain porositas dan permeabilitas tanah dan perbaikan
sifat biologi tanah dan peningkatan populasli bakteri yang menguntungkan
lingkungan tanah (Hadi, 2006).
Dari hasil penelitian sebelumnya telah dilaporkan
bahwa sekitar 20 % dari berat padi adalah sekam padi, dan bervariasi dari 13
sampai 29 % dari komposisi sekam adalah abu sekam yang selalu dihasilkan setiap
kali sekam dibakar (Putro dan Prasetyoko, 2007)
Manfaat pupuk kandang ayam telah banyak diteliti dan
memberikan efek yang sangat besar terhadap pertumbuhan tanaman bahkan lebih
besar dari kotoran hewan besar. Pupuk ini di samping mengandung unsur hara
makro juga mengandung unsure mikro seperti Cu dan sejumlah kecil Mn, Co dan Bo
yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman (Hakim, et al.,
2006).
Produktivitas temulawak sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan nitrogen.Umumnya kebutuhan N dipenuhi dari pupuk buatan, seperti
urea, ZA dan pupuk buatan lainnya. Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian peranan pupuk N buatan ini dapat diganti dengan pupuk organik,
bio dan alam. Pada umumnya untuk tanaman berimpang pupuk organik diperlukan
dalam jumlah yang relatif besar baik untuk kesuburan fisik, kimia dan biologi.
Pupuk organik yang dapat digunakan antara lain pupuk kandang, kasting, limbah
kulit kopi dan sekam padi. Pemanfaatan sumber bahan organik seperti pupuk
kandang, kasting, sekam padi dan limbah kulit kopi merupakan alternatif untuk
memperbaiki kesuburan tanah dalam menunjang pertumbuhan dan produksi temulawak
Dari hasil penelitian fazlini et al (2014) pemberian pupuk kandang ayam 20 ton/hektar berpengaruh terhadap
tinggi tanaman, hal ini disebabkan oleh kandungan hara pupuk kandang ayam
sangat tinggi seperti kandungan C.organik (11,21 %), N.total (1,81 %), C/N (6), Bahan Organik (19,40), P
(2,02 %), K (0,41 %). Ruhnayat (2011), menjelaskan bahwa kebutuhan unsur hara
tanaman obat berimpang cukup tinggi. Kebutuhan unsur hara tersebut dipenuhi
dari pupuk anorganik (Urea, SP-36 dan KCL) dan pupuk organik yaitu pupuk
kandang. Pemberian pupuk organik memberikan respon yang positif terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman obat berimpang, tetapi pupuk kandang ayam
masih belum mampu memberikan hasil yang optimal pada pertumbuhan tanaman
temulawak
Hasil penelitian Fazlini et al (2014) biochar sekam padi tidak berpengaruh terhadap tinggi
tanaman temulawak, hal ini diduga kandungan hara biochar yang digunakan masih
rendah seperti C.organik (3,85 %), N.total (1,24 %), C/N (3), Bahan Organik
(6,65), P (0,44 %), K (0,85 %). Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
(2009), biochar mengandung sekitar 50% karbon yang ada dalam bahan dasar. Bahan
organik yang terdekomposisi secara biologi biasanya mengandung karbon kurang
dari 20% setelah 5-10 tahun. Kalau dibakar, bahan organik hanya meninggalkan 3%
karbon, dari karbon biochar yang tersisa hanya sedikit, sehingga belum mampu
meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman temulawak, serta proses penguraiannya
kedalam tanah membutuhkan waktu yang lama yaitu sampai bertahuntahun.
Hasil penelitian Rahardjo dan Ajijah (2007)
menunjukkan bahwa pupuk organik dan pupuk alam (bokashi 10 ton/ha + pupuk bio
90 kg/ha + zeolit 300 kg/ha + pupuk fosfat alam 300 kg/ha.) hanya mampu
menghasilkan rimpang temulawak sebesar 14,21 - 16,59 ton/ha.Namun pemberian
pupuk bio tersebut belum mampu meningkatkan produksi rimpang temulawak pada
tingkat optimal (20 ton/ha). Akan tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan
produksi rata-rata nasional (10,7 ton/ha)
Rahardjo (2010) juga menyatakan pemupukan K diduga
berpengaruh terhadap meningkatnya kadar xanthorrizol dan kurkumin pada
temulawak. Kadar kurkumin dan rimpang temulawak semakin meningkat dengan adanya
penambahan unsur Nitrogen dan Kalium, karena unsur K akan meningkatkan
translokasi kurkumin dari daun ke rimpang (Nihayati dan Murdiono, 2012).
Analisis tanah yang dilakukan pada tanah di lokasi penelitian menunjukkan bahwa
kandungan bahan organik rendah sehingga masih memerlukan input bahan organik
dalam jumlah yang besar, serta N total yang rendah. Kandungan N yang rendah
tersebut menyebabkan tanaman memberikan respon yang positif terhadap penambahan
pupuk yang mengandung N. Kandungan P tersedia dalam tanah berkisar dari
sedang-sangat tinggi, sementara dari kemampuan pertukaran kation terlihat bahwa
tanah di lokasi demplot memiliki kapasitas tukar kation yang tinggi yang
artinya tanah mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mempertukarkan dan menyerap
kation
Hasil Dan Pembahasan

Dari Tabel 1 diatas perlakuan biochar sekam padi
tidak berpengaruh nyata, terhadap tinggi tanaman, sedangkan perlakuan pupuk
kandang ayam memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada semua umur
pengamatan 14 – 84 hst. Hasil tertinggi pada tinggi tanaman terdapat pada
perlakuan tanpa pupuk kandang ayam (P0). Menurut Nobita (2012), perakaran
temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah baik tanah
berkapur, berpasir, agak berpasir maupun tanah - tanah berat yang berliat, hal
ini yang menyebabkan daya tumbuh rimpang lebih tinggi tanpa pupuk kandang ayam
(P0), serta kandungan unsur hara didalam tanah masih cukup untuk menunjang
pertumbuhan dan perkembangan tanaman temulawak, pemberian pupuk kandang ayam
yang digunakan padapenelitian ini membuat media tanam cepat kering. Hal ini
terjadi karena pupuk kandang ayam yang bersifat panas, sehingga dapat
mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman temulawak.

Dari Tabel 2 diatas perlakuan biochar sekam padi
tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas tanaman, sedangkan perlakuan
pupuk kandang ayam memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tunas tanaman
temulawak pada umur pengamatan 56, 70, 84 hst. Hasil tertinggi jumlah tunas
terdapat pada perlakuan tanpa pemberian pupuk kandang ayam (P0), faktor
tersebut diduga karena tanaman temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada
berbagai jenis tanah. Kandungan hara tanah yang digunakan pada penelitian ini
masih mencukupi untuk pertumbuhan tunas tanaman temulawak seperti kandungan,
C.organik (1,23%), N.total (0,10%), C/N (12), Bahan organik tanah (2,12%).
Menurut Syafi’i (2014), kesuburan tanah adalah kemampuan tanah untuk dapat menyediakan
unsur hara dalam jumlah yang cukup dan berimbang, sehingga tanpa pemberian
pupuk kandang ayam (P0) mampu memberikan hasil yang baik dibandingkan perlakuan
10 ton/ha pupuk kandang ayam (P1), 20 ton/ha pupuk kandang ayam (P2), 30 ton/ha
pupuk kandang ayam (P3).

Dari Tabel 3 diatas perlakuan biochar sekam padi
tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah rimpang tanaman temulawak, sedangkan
perlakuan pupuk kandang ayam memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah rimpang
tanaman temulawak. Hasil tertinggi pada jumlah rimpang terdapat pada perlakuan
tanpa pupuk kandang ayam (P0). Faktor tersebut diduga karena daya tumbuh
rimpang temulawak lebih tinggi tanpa pemberian pupuk kandang ayam dibandingkan
dengan perlakuan 10 ton/ha pupuk kandang ayam (P1), 20 ton/ha pupuk kandang
ayam (P2), 30 ton/ha pupuk kandang ayam (P3), dan unsur hara yang terkandung
didalam tanah masih mencukupi untuk pertumbuhan jumlah rimpang. Selain itu umur
panen juga mempengaruhi pertumbuhan rimpang tanaman, karena semakin tua umur
panen maka semakin banyak pula rimpang yang tumbuh. Menurut Khaerana et al., (2008), yang
mengatakan bahwa perbedaan umur panen tanaman temulawak juga dapat mempengaruhi
produktivitas dan mutu rimpang temulawak. Petani umumnya memanen tanaman
temulawak pada umur 9 bulan, bahkan sampai umur 24 bulan, sedangkan penelitian
yang dilakukan umur panen tanaman temulawak hanya 3 bulan, sehingga
mempengaruhi pertumbuhan jumlah rimpang tanaman.

Dari Tabel 4 diatas perlakuan biochar
sekam padi tidak berpengaruh nyata terhadap bobot basah rimpang tanaman
temulawak, sedangkan perlakuan pupuk kandang ayam memberikan pengaruh nyata
terhadap bobot basah rimpang. Hasil terbaik bobot basah rimpang terdapat pada
perlakuan tanpa pupuk kandang ayam (P0) mencapai (7,86 g), hasil uji BNT 5 %
menunjukkan bahwa perlakuan 10 ton/ha pupuk kandang ayam (P1), 20 ton/ha pupuk kandang ayam (P2), 30 ton/ha
pupuk kandang ayam (P3), masih belum memberikan hasil yang optimum terhadap
bobot basah rimpang. Menurut Ferry et al. (2009) bahwa bobot rimpang
temulawak sebagian besar mengandung air (80 %), sisanya (sebagian kecil) adalah
bahan kering, dan kemungkinan pemberian pupuk kandang ayam dapat menurunkan
bobot basah rimpang, seperti yang terjadi pada saat penelitian media pupuk
kandang ayam yang digunakan mudah kering dan terasa panas, hal ini diduga
karena kandungan C/N pupuk kandang ayam tinggi, sehingga media tanam kering,
dan pada akhirnya dapat mengurangi air yang ada didalam rimpang temulawak.
Andika (2013), menjelaskan bahwa bahan
organic yang mempunyai C/N masih tinggi
berarti masih mentah. Pupuk yang belum matang (C/N tinggi) dianggap merugikan, karena
bila diberikan langsung ke dalam tanah bahan organic akan diserang oleh mikrobia (bakteri
maupun fungi) untuk memperoleh energi, sehingga membutuhkan hara yang tinggi, populasi mikrobia akan terus
berkembangbiak dan berperan sebagai pengganggu, dengan kata lain mikrobia bersaing dengan
tanaman untuk memperebutkan
hara yang ada.

Pada Tabel 5 diatas perlakuan biochar sekam padi
tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering rimpang tanaman temulawak,
sedangkan perlakuan pupuk kandang ayam memberikan pengaruh nyata terhadap bobot
kering rimpang. Bobot kering rimpang tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa
pemberian pupuk kandang ayam (P0) mencapai 1,75 gram, dibandingkan dengan
pemberian pupuk kandang ayam, faktor tersebut diduga karena pemberian pupuk
kandang ayam pengaruhnya kurang baik terhadap bobot kering rimpang. Selain itu
umur panen juga mempengaruhi bobot kering rimpang, dan penelitian yang
dilakukan dengan umur panen temulawak 3 bulan masih belum mampu memberikan
hasil yang baik terhadap bobot kering rimpang, karena umur panen 3 bulan,
tanaman masih dalam fase vegetatif.
Hasil penelitian Khaerana et al. (2008),
menyatakan bahwa bobot kering rimpang yang dipanen pada umur 7 bulan nyata
lebih tinggi dibanding rimpang yang dipanen pada umur 5 bulan. Tingginya kadar
air rimpang pada saat rimpang dipanen pada umur 5 bulan, sedangkan rimpang yang
dipanen pada umur 7 bulan menunjukkan komposisi bahan kering lebih besar
dibanding rimpang yang dipanen umur 5 bulan. Selain itu umur panen 5 bulan,
tanaman temulawak masih aktif melakukan pertumbuhan vegetatif, sehingga
translokasi fotosintat lebih banyak ke organ vegetatif, sedangkan tanaman yang
dipanen pada umur 7
bulan, hasil fotosintat tanaman lebih mengarah ke organ penyimpanan, seperti
rimpang.

Pada Tabel 6 diatas perlakuan biochar sekam padi
tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tanaman temulawak, sedangkan
perlakuan pupuk kandang ayam memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air.
Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa pemberian pupuk kandang ayam
(P0) mencapai (274,74 %), hasil uji BNT 5 % menunjukkan bahwa perlakuan 10
ton/ha pupuk kandang ayam (P1), 20 ton/ha pupuk kandang ayam (P2), 30 ton/ha
pupuk kandang ayam (P3) lebih rendah dibandingkan tanpa pemberian pupuk kandang
ayam (P0). Faktor tersebut diduga pupuk kandang ayam mempunyai kelemahan mudah
menguap karena bahan organiknya tidak terurai secara sempurna, banyak yang
berubah menjadi gas, tanaman temulawak banyak yang kering akibat pupuk kandang
ayam yang terlalu panas, sehingga dapat menurunkan kualitas kadar air rimpang.
Pentingnya mengetahui kadar air rimpang tanaman temulawak adalah untuk menjaga
kualitas rimpang tanaman yang banyak manfaatnya yaitu, sebagai bahan
pengobatan, dan bahan aktifnya dapat digunakan sebagai bahan obat sintetik (Pribadi, 2009).

1.
Biochar dari
sekam padi juga memiliki kandungan C-organik > 35% dan kandungan unsur hara
makro seperti N, P dan K yang cukup tinggi
2.
Pupuk kandang ayam secara umum mempunyai
kelebihan dalam kecepatan penyerapan hara, komposisi hara seperti N, P, K dan
Ca dibandingkan pupuk kandang sapi dan kambing
3.
Pemupukan K diduga berpengaruh terhadap
meningkatnya kadar xanthorrizol dan kurkumin pada temulawak
4.
Kadar kurkumin dan rimpang temulawak
semakin meningkat dengan adanya penambahan unsur Nitrogen dan Kalium, karena
unsur K akan meningkatkan translokasi kurkumin dari daun ke rimpang
5. Biochar
sekam padi tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman temulawak, karena bahan
organic yang dibakar belum mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman
temulawak, serta proses penguraiannya membutuhkan waktu bertahun tahun.
6.
Tidak terdapat pengaruh nyata pada
perlakuan biochar sekam padi untuk meningkatkan pertumbuhan
dan hasil tinggi tanaman, jumlah tunas, jumlah rimpang, bobot basah rimpang, bobot kering rimpang dan kadar air
rimpang.
7. Terdapat
pengaruh nyata perlakuan pupuk kandang
ayam, tetapi belum terdapat hasil yang optimum pada perlakuan 10 ton/ha pupuk kandang ayam (P1), 20 ton/ha pupuk
kandang ayam (P2), 30 ton/ha pupuk kandang ayam (30

Fazlini, Lestari, S. U. dan R. I.
Hapsari. 2014. Aplikasi Biochar Sekam Padi Dan Pupuk Kandang Ayam Terhadap
Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.).
Fakultas Pertanian. Universitas
Tribhuawana Tunggadewi Malang.
Gani, A. 2010. Potensi
Arang Hayati .Biochar. sebagai Komponen Teknologi Perbaikan Produktivitas Lahan
Pertanian. Peneliti Balai Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Hakim, N.,
Pulung, M.A., Nyakpa, M.Y. 2006. Pupuk
dan Pemupukan. Universitas Andalas. Padang
Pibadi, E.R dan Mono, R. 2007. Kajian Ekonomi Budidaya Organik Dan Konvensional Pada 3 Nomor Harapan
Temulawak (Curcuma Xanthorhiza Roxb). Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik. J. Littro. Vol. XVIII (1) : 73-85.
Putro, A. L. dan
D. Prasetyo. 2007. Abu Sekam Padi Sebagai Sumber Silika pada Sintesa Zeolit
ZSM-5 Tanpa Menggunakan Templat Organik. J. Akta Kimindo 3:1
Rahardjo, M. dan Nur. A. 2007. Pengaruh Pemupukan Organik Terhadap
Produksi Dan Mutu Tiga Nomor Harapan Temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb.)
Di Cibinong Bogor. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. J.
Littro. Vol. XVIII (1) : 29 – 38.
Rahardjo, M. dan O. Rostiana. 2005b. Budidaya tanaman kunyit.
Circular No. 11. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 30-35.
Syahid., S.F.
dan Hadipoentyanti, E. 2007. Respon
Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) Hasil
Rimpang Kultur Jaringan Generasi Kedua Terhadap Pemupukan. Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor.
Wulandari,
V. 2011. Pengaruh Pemberian Beberapa Dosis Pupuk Kandang Ayam
Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Rosella Di Tanah Ultisol. Fakultas
Pertanian. Universitas Andalas. Padang.
Widjaja, H.
2002. Penyimpanan karbon dalam tanah alternatif carbon sink dari pertanian
konservasi. PPS Ilmu Tanah, IPB.
Widowati. L. R.,
Sri Widati, U. Jaenudin, W. Hrtatik. 2004. Pengaruh kompos pupuk organik
yang Dipekaya dengan Bahan Mineral dan Pupuk Hayati terhadap Sifatsifat Tanah,
Serapan Hara dan Produksi Sayuran Organik.Laporan Proyek Penelitian
Program Pengembangan Agribisnis. Balai Penelitian Tanah.
Yusron, M. 2009. Respon Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb)
Terhadap Pemberian Pupuk Bio Pada Kondisi Agroekologi Yang Berbeda. Jurnal Littri.
Vol 15.( 4): 162 – 167.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar