Latar
Belakang
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan
komoditas multifungsi yang saat ini dicanangkan sebagai minuman kesehatan
nasional. Prospek pasar dan peluang pengembangan temulawak masih terbuka karena
kandungan kimianya yang berkhasiat (Octaviana, 2010).
Kandungan minyak atsiri, kurkuminoid, xanthorrhizol dan
pati di dalam rimpang temulawak memungkinkan komoditas ini digunakan secara
luas di dalam penyembuhan berbagai penyakit seperti sebagai anti kolesterol,
antioksidan, penanggulangan penyakit hati, gangguan pencernaan, dan lain-lain.
Sebagai obat anti kolesterol dan penanggulangan penyakit hati, rimpang
temulawak dapat dibuat menjadi berbagai jenis produk dalam bentuk kapsul,
tablet dan minuman penyegar (Octaviana, 2010).
Temulawak telah dimanfaatkan industri obat sebagai jamu,
herbal terstandar dan obat fitofarmaka, di Indonesia maupun di manca negara.
Serapan rimpang temulawak segar oleh industri jamu dan obat tradisional di
Indonesia pada tahun 2002 mencapai 9.494,92 ton (Octaviana, 2010).
Prana
(1985) menyatakan bahwa di Indonesia rimpang
temulawak akan mengalami dormansi pada
musim kemarau. Sementara di India masa dormansi
terjadi pada musim dingin (Hidayat dan Rosita
1993). Memasuki musim hujan, dormansi pecah
dan tunas mulai tumbuh yang berarti masa aktif
pertumbuhan dimulai. Rimpang temulawak dapat
digunakan sebagai bibit tetapi perlu dilakukan
pemecahan dormansi terlebih dahulu. Pemecahan
dormansi dapat terjadi secara alamiah atau
dengan bantuan trigger agent. Pecah dormansi ditandai dengan tumbuhnya tunas
pada rimpang.
Daerah tumbuhnya selain di dataran
rendah juga dapat tumbuh baik sampai pada ketinggian tanah
1500 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini berbunga
hampir sepanjang tahun dan tumbuh berumpun. Penyerbukan
temulawak biasanya dibantu oleh lebah Orthopora sp akan tetapi
tidak menghasilkan biji (Prana 1985).
Menurut Budiman dkk (1999) bahwa tidak terbentuknya
biji dikarenakan temulawakmerupakan tumbuhan yang memiliki kromosom triploid..
Oleh karena itu, dalam budidaya tanaman ini selalu
menggunakan bibit dari rimpang.
Pertunasan dapat dipicu dengan
perangsang biologi dan beberapa teknik persemaian. Atonik adalah
salah satu perangsang biologi sebagai biostimulan yang
dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman, mempercepat pemulihan
bagian tanaman yang terluka dan meningkatkan kualitas dan
kuantitas hasil panen. Atonik mengandung bahan aktif
sodium mono nitroquaiacol 2- (CH3O)(C6H4OH) dan aromatic
nitro compound. Nitro compound adalah komponen organik yang mengandung
lebih dari satu gugus fungsi -NO2. Senyawa-senyawa tersebut diformulasikan dalam bentuk cairan dan sifatnya
mudah larut dalam air. Aplikasi
pada tanaman melalui daun akan mudah diabsorbsi oleh sel-sel. Atonik memiliki khasiat dapat memicu pertumbuhan benih,
perakaran pertunasan dan
meningkatkan pembuahan atau hasil tanaman (Weaver 1972).
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah
memecah dormansi rimpang temulawak dengan menggunakan perangsang biologi
(atonik) dan penggunaan hormon auksin sintetis (root-up) untuk menstimulasi
perakaran.
Kegunaan
Penulisan
-
Sebagai salah satu syarat untuk dapat memenuhi
penilaian di Mata Kuliah Budidaya
Tanaman Obat Dan Rempah Program Studi Agroekoteknologi Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
-
Sebagai bahan informasi bagi pihak yang
membutuhkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Berdasarkan
kedudukan temulawak dalam tata nama (sistematika) tanaman termasuk ke dalam
klasifikasi sebagai berikut : Kingdom : Plantae ; Divisi : Spermatophyta ; Sub divisi : Angiospermae ; Kelas
: Monocotyledonae ; Ordo : Zingiberales ; Familia : Zingiberaceae ; Genus :
Curcuma ; Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Octaviana, 2010).
Tanaman
herba berbatang semu dengan tinggi
hingga lebih dari 1 m tetapi kurang dari 2 m, bewarna hijau atau cokelat gelap.
Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap (Hapsoh dan Hasanah, 2011).
Daun
tanaman temulawak bentuknya panjang dan agak lebar. Panjang daunnya sekitar 50
– 55 cm dan lebar
18 cm. Warna bunga umumnya kuning dengan
kelopak bunga kuning tua dan pangkal bunganya berwarna ungu
(Octaviana,
2010).
Perbungaan
lateral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai 9 – 23 cm
dan lebar 4-6 cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau
sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjang 8
– 13 mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4,5 cm,
helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang
berwarna merah dadu atau merah, panjang 1,25 – 2 cm dan lebar 1cm (Hapsoh dan
Hasanah, 2011).
Tanaman temulawak menghasilkan rimpang temulawak yang
bentuknya bulat seperti telur dengan arna kulit rimpang sewaktu masih muda
maupun tua adalah kuning kotor. Warna daging rimpang adalah kuning dengan cita
rasa pahit, berbau tajam dan keharumannya sedang (Octaviana, 2010).
Syarat Tumbuh
Iklim
Secara
alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan – lahan yang teduh dan terlindung
dari teriknya sinar matahari. Di habitat alami rumpun tanaman ini tumbuh subur
di bawah naungan pohon bambu atau jati.
Namun demikian temulawak juga dapat dengan mudah ditemukan di tempat yang terik
seperti tanah tegalan. Secara umum tanaman ini memiliki daya adaptasi yang
tinggi terhadap berbagai cuaca di daerah beriklim tropis. Suhu udara yang baik
untuk budidaya tanaman ini antara 19 – 30oC. Tanaman ini memerlukan
curah hujan tahunan antara 1000 – 4000 mm/tahun (Hapsoh dan Hasanah, 2011).
Pengembangan
temulawak di dataran tinggi (800 m dpl)
cenderung semakin tinggi kandungan xanthorrizolnya dan semakin rendah kandungan
kurkuminoidnya. Sedangkan pengembangan temulawak di dataran rendah (200 m dpl)
kandungan xanthorrizol semakin rendah dan semakin tinggi kandungan
kurkuminoidnya (Rahardjo, 2010).
Temulawak
dapat tumbuh pada ketinggian tempat 5 – 1000 m dpl dengan ketinggian tempat
optimum adalah 750 m dpl. Kandungan pati tertinggi di dalam rimpang diperoleh
pada tanaman yang ditanam pada ketinggian 240 m dpl. Temulawak yang ditanam di
dataran tinggi menghasilkan rimpang yang hanya mengandung sedikit minyak
atsiri. Tanaman ini lebih cocok dikembangkan di dataran sedang (Hapsoh dan
Hasanah, 2011).
Tanah
Lokasi
produksi merupakan salah satu faktor penentu terhadap keberhasilan produksi
secara baik dan benar. Temulawak dapat tumbuh baik pada jenis tanah latosol,
andosol, podsolik dan regosol yang mempunyai tekstur liat berpasir, gembur,
subur banyak mengandung bahan organik, pH tanah 5,0 – 6,5 (Rahardjo, 2010).
Perakaran
temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah baik tanah
berkapur, berpasir, agak berpasir maupun tanah-tanah berat yang berliat. Namun
demikian untuk memproduksi rimpang yang optimal diperlukan tanah yang subur,
gembur dan berdrainase baik. Dengan demikian pemupukan anorganik dan organik
diperlukan untuk memberi unsur hara yang cukup dan menjaga struktur tanah agar
tetap gembur. Tanah yang mengandung bahan organik diperlukan untuk menjaga agar
tanah tidak mudah tergenang air (Warintek, 2009).
Larutan Atonik
Pertunasan dapat dipicu dengan
perangsang biologi dan beberapa teknik persemaian. Atonik adalah
salah satu perangsang biologi sebagai biostimulan yang
dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman, mempercepat pemulihan
bagian tanaman yang terluka dan meningkatkan kualitas dan
kuantitas hasil panen. Atonik mengandung bahan aktif
sodium mono nitroquaiacol 2- (CH3O)(C6H4OH) dan aromatic
nitro compound. Nitro compound adalah komponen organik yang mengandung
lebih dari satu gugus fungsi -NO2. Senyawa-senyawa tersebut diformulasikan dalam bentuk cairan dan sifatnya
mudah larut dalam air. Aplikasi
pada tanaman melalui daun akan mudah diabsorbsi oleh sel-sel. Atonik memiliki khasiat dapat memicu pertumbuhan benih,
perakaran pertunasan dan
meningkatkan pembuahan atau hasil tanaman (Weaver 1972).
Menurut Makin dan Roemantyo
(1985a) bahwa perendaman rimpang temulawak dalam larutan atonik 2 mL/L selama
30 menit dan pemakaian plastik hitam sebagai penutup persemaian memberikan
pengaruh baik terhadap tunas yang tumbuh, jumlah tunas yang terbentuk dan akar
yang dihasilkan. Makin dan Rumantyo (1985b) melaporkan bahwa pemakaian media
kompos pada persemaian dan perendaman rimpang pada larutan atonik 1 mL/L dan 2
mL/L selama setengah jam memberikan pengaruh pada kecepatan pertumbuhan tunas,
banyaknya tunas yang terbentuk dan jumlah akar.
Auksin
Pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT)
pada stek (dalam penyetekan) bertujuan untuk mempertinggi prosentase stek dalam
membentuk akar dan mempercepat proses inisiasi akar sedangkan untuk merangsang
pembentukan akar, biasanya konsentrasi zat tumbuh yang digunakan relatif
rendah, karena pemakaian dengan konsentrasi tinggi akan menghambat pemanjangan
akar (Hidayat dan Rosita 1999), selanjutnya dinyatakan pula bahwa penggunaan
ZPT adalah salah satu usaha dalam memacu pertumbuhan tanaman sehingga akan
diperoleh peningkatkan hasil tanaman. Telah diketahui bahwa auksin, karbohidrat
dan nitrogen yang dikandung dalam bahan tanaman merupakan bahan baku yang
memungkinkan terbentuknya akar.
Beberapa ZPT yang mengandung
senyawa auksin yang banyak dipakai untuk perakaran stek adalah Indole Acetic
Acid (IAA), Indole Buteric Acid (IBA), dan Napthalene Acetic Acid
(NAA) (Weaver 1972). Selanjutnya dikatakan bahwa ZPT yang paling baik
digunakan untuk penyetekan adalah IBA, karena kandungan kimia yang lebih
stabil, daya kerja yang lebih lama dan relatif lambat ditranslokasikan dalam
tanaman sehingga respon akan lebih baik terhadap pertumbuhan akar. Pada NAA
bersifat merangsang dalam pembentukan akar dengan stabilitas kimia yang lebih
besar dan konsentrasi optimum, pemberian NAA yang sangat kecil kurang efektif
dan tidak menguntungkan apalagi belum diketahui konsentrasi yang sebenarnya
yang dibutuhkan oleh tanaman. Begitu pula IAA, bersifat mudah menyebar dan akan
menghambat pertumbuhan tanaman sebelum waktunya, sehingga kurang efektif
pemakaiannya.
Pengaruh Pemberian Larutan
Atonik dan Auksin
Pada minggu pertama perlakuan kontrol berpengaruh pada
jumlah rata-rata semua peubah yang lebih tinggi dibanding 3 perlakuan atonik lainnya,
sedangkan penggunaan root-up menunjukan jumlah rata-rata rimpang bertunas dan
total tunas yang lebih tinggi dari kontrol, dapat dilihat pada Tabel 1.
Selanjutnya pada minggu kedua, tunas pada rimpang mulai berkembang menjadi
daun. Pada perlakuan dengan atonik mulai berpengaruh dengan meningkatnya jumlah
rimpang bertunas, total tunas dan total akar yang ditunjukkan bila dibandingkan
dengan jumlah ratarata terjadi lebih tinggi dari kontrol. Sedangkan pada
perlakuan dengan root-up tidak memberikan pengaruh peningkatan jumlah rimpang
berakar dan total akar jika dibanding perlakuan kontrol, dapat dilihat pada
Tabel 2.
Pada minggu ketiga, perlakuan
kombinasi antara atonik (4 mL/L) dan root-up (10 g/L) menunjukan jumlah rimpang
bertunas yang mendekati 100 % yaitu 7,5 dari 8 rimpang. Kombinasi perlakuan
atonik (6 mL/L) dan root-up (10 g/L) menunjukan jumlah total tunas rata-rata
yang tertinggi dan pada kombinasi perlakuan atonik (2 mL/L) dan root-up (0 g/L)
menunjukan jumlah rata-rata total akar tertinggi. Meskipun demikian, ketiga
kombinasi perlakuan tersebut menunjukkan pengaruh tidak nyata dan nilai
ratarata masing-masing peubah mendekati nilai ratarata kontrol,
Zat pengatur tumbuh (ZPT)
dibuat agar tanaman memacu pembentukan fitohormon (hormon tumbuhan).
Hormon mempunyai arti untuk merangsang, membangkitkan atau mendorong timbulnya
suatu aktivitas biokimia. Dengan demikian fitohormon sebagai senyawa
organik yang bekerja aktif dalam jumlah sedikit, ditransformasikan ke seluruh
bagian tanaman sehinga dapat mempengaruhi pertumbuhan atau proses-proses
fisiologi tanaman.
Menurut Schmidt (2000) salah
satu klasifikasi dormansi berdasarkan pembentukannya yaitu dormansi sebagai
respon terhadap lingkungan luar yang tidak mendukung. Pada tanaman temulawak,
lingkungan yang kering menyebabkan rimpang temulawak mengalami dormansi dan
akan pecah bila terkena air atau saat musim hujan tiba. Oleh karena itu, proses
perendaman memberikan efek positif untuk perkecambahan dan penunasan rimpang
temulawak. Rimpang temulawak yang direndam dalam air (perlakuan kontrol)
menghasilkan jumlah rata-rata tunas yang tidak berbeda nyata, bahkan lebih
tinggi bila dibanding dengan yang menggunakan larutan perangsang biologi dan
hormon perakaran. Hasil tersebut menunjukan bahwa proses pertunasan rimpang
dapat dibantu hanya dengan perendaman dalam air.
Menurut Weaver (1972) salah satu fase dormansi adalah trigger,
yaitu ketika benih (dalam kasus ini rimpang) dalam keadaan sensitif terhadap
isyarat lingkungan. Pada fase ini faktor penghambat dan pendorong pertunasan
dalam keadaan seimbang. Hormon adalah salah satu agent pendorong terjadinya
petunasan (germination agent) yang mekanismenya sangat ditentukan oleh
tipe hormon dan konsentrasi yang digunakan. Schmidt 2000) menyatakan bahwa
beberapa komponen kimia berinteraksi dengan mekanisme fisiologi dari beberapa
tipe dormansi dan dapat menstimulasi proses metabolik selama
perkecambahan/pertunasan. Dari hasil percobaan menunjukkan hormon yang
digunakan, perangsang biologi (atonik) dan auksin (dalam bentuk root-up), belum
berpengaruh secara signifikan dalam mendorong pertunasan dan perakaran rimpang
dibandingkan dengan kontrol. Hal ini dimungkinkan karena jenis hormon yang
digunakan dalam penggunaan konsentrasinya belum tepat sasaran, selain itu dapat
juga disebabkan oleh kondisi lingkungan persemaian yang kurang mendukung,
diantaranya temperatur dan media semai.
KESIMPULAN
1. perendaman dalam
air (perlakuan kontrol) dapat membantu pemecahan dormansi rimpang temulawak.
2. Penambahan
perangsang biologi dan auksin dalam larutan belum menunjukan pengaruh yang
lebih baik untuk memecahkan dormansi rimpang dan stimulasi perakaran tunas
temulawak
Djamhari, S.
2010. Memecah Dormansi Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorriza R.)
Menggunakan Larutan Atonik Dan Stimulasi Perakaran Dengan Aplikasi Auksin.
Jurnal Sains Dan Teknologi Indonesia 12 (1): 66-70.
Fanesa, 2011.
Pengaruh Proses Pengeringan RimpangTemulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb)
Terhadap Kandungan Dan KomposisiKurkuminoid. Reaktor, 13 (3) : 165-169.
Hapsoh
Dan Hasanah, 2011. Metode Perancangan Percobaan. Untuk Ilmu Pertanian,
Ilmu-ilmu Teknik dan Biologi. Armico, Bandung.
Octaviana, 2010.
Prima Riska Oktaviana Kajian Kadar
Kurkuminoid, Total Fenol Dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Temulawak (Curcuma
Xanthorrhiza Roxb.) Pada Berbagai
Teknik Pengeringan Dan ProporsiPelarutan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret Surakarta.Semarang.
Rajiman, 2009.
Analisis kandungan kimia rimpang temulawak, temu teknis nasional tenaga fungsional pertanian. Bogor (ID) :
Departemen Pertanian.
Rismunandar.
1988. Rempah-rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Sinar Baru. Bandung.
Rosidi Mulyono
MW, Muhtadi A. 2011. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Jakarta (ID)
: Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica.
Trisna Dkk.,
2013. Pengaruh waktu, suhu, dan nisbah pelarut pada ekstraksi kurkumin dari
temulawakdengan pelarut Aseton [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Warintek, 2009.
Pengaruh waktu, suhu, dan nisbah pelarut pada ekstraksi kurkumin dari temulawak dengan pelarut etanol [skripsi].
Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Zahro, Laely
dan Cahyono, Bambang dan Hastuti, Rini Budi. 2009. Profil Tampilan Fisik dan
Kandungan Kurkuminoid dari Simplisia Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)
pada Beberapa Metode Pengeringan. Jurnal Sains dan Matematika 17 (1) 24-32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar