Senin, 12 September 2016

BUDIDAYA TEMULAWAK

PEMBERIAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan komoditas multifungsi yang saat ini dicanangkan sebagai minuman kesehatan nasional. Prospek pasar dan peluang pengembangan temulawak masih terbuka karena kandungan kimianya yang berkhasiat (Octaviana, 2010).
Kandungan minyak atsiri, kurkuminoid, xanthorrhizol dan pati di dalam rimpang temulawak memungkinkan komoditas ini digunakan secara luas di dalam penyembuhan berbagai penyakit seperti sebagai anti kolesterol, antioksidan, penanggulangan penyakit hati, gangguan pencernaan, dan lain-lain. Sebagai obat anti kolesterol dan penanggulangan penyakit hati, rimpang temulawak dapat dibuat menjadi berbagai jenis produk dalam bentuk kapsul, tablet dan minuman penyegar (Octaviana, 2010).
Temulawak telah dimanfaatkan industri obat sebagai jamu, herbal terstandar dan obat fitofarmaka, di Indonesia maupun di manca negara. Serapan rimpang temulawak segar oleh industri jamu dan obat tradisional di Indonesia pada tahun 2002 mencapai 9.494,92 ton (Octaviana, 2010).
Prana (1985) menyatakan bahwa di Indonesia rimpang temulawak akan mengalami dormansi pada musim kemarau. Sementara di India masa dormansi terjadi pada musim dingin (Hidayat dan Rosita 1993). Memasuki musim hujan, dormansi pecah dan tunas mulai tumbuh yang berarti masa aktif pertumbuhan dimulai. Rimpang temulawak dapat digunakan sebagai bibit tetapi perlu dilakukan pemecahan dormansi terlebih dahulu. Pemecahan dormansi dapat terjadi secara alamiah atau dengan bantuan trigger agent. Pecah dormansi ditandai dengan tumbuhnya tunas pada rimpang.
Daerah tumbuhnya selain di dataran rendah juga dapat tumbuh baik sampai pada ketinggian tanah 1500 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini berbunga hampir sepanjang tahun dan tumbuh berumpun. Penyerbukan temulawak biasanya dibantu oleh lebah Orthopora sp akan tetapi tidak menghasilkan biji (Prana 1985).
Menurut Budiman dkk (1999) bahwa tidak terbentuknya biji dikarenakan temulawakmerupakan tumbuhan yang memiliki kromosom triploid.. Oleh karena itu, dalam budidaya tanaman ini selalu menggunakan bibit dari rimpang.
Pertunasan dapat dipicu dengan perangsang biologi dan beberapa teknik persemaian. Atonik adalah salah satu perangsang biologi sebagai biostimulan yang dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman, mempercepat pemulihan bagian tanaman yang terluka dan meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen. Atonik mengandung bahan aktif sodium mono nitroquaiacol 2- (CH3O)(C6H4OH) dan aromatic nitro compound. Nitro compound adalah komponen organik yang mengandung lebih dari satu gugus fungsi -NO2. Senyawa-senyawa tersebut diformulasikan dalam bentuk cairan dan sifatnya mudah larut dalam air. Aplikasi pada tanaman melalui daun akan mudah diabsorbsi oleh sel-sel. Atonik memiliki khasiat dapat memicu pertumbuhan benih, perakaran pertunasan dan meningkatkan pembuahan atau hasil tanaman (Weaver 1972).


Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah memecah dormansi rimpang temulawak dengan menggunakan perangsang biologi (atonik) dan penggunaan hormon auksin sintetis (root-up) untuk menstimulasi perakaran.
Kegunaan Penulisan
-            Sebagai salah satu syarat untuk dapat memenuhi penilaian di Mata Kuliah Budidaya Tanaman Obat Dan Rempah Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
-            Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.


TINJAUAN PUSTAKA



Botani Tanaman
Berdasarkan kedudukan temulawak dalam tata nama (sistematika) tanaman termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut : Kingdom : Plantae ; Divisi : Spermatophyta ;             Sub divisi : Angiospermae ; Kelas : Monocotyledonae ; Ordo : Zingiberales ; Familia : Zingiberaceae ; Genus : Curcuma ; Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.  (Octaviana, 2010).
Tanaman herba berbatang semu dengan tinggi hingga lebih dari 1 m tetapi kurang dari 2 m, bewarna hijau atau cokelat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap (Hapsoh dan Hasanah, 2011).
Daun tanaman temulawak bentuknya panjang dan agak lebar. Panjang daunnya sekitar 50 – 55 cm dan lebar  18 cm. Warna bunga umumnya kuning dengan kelopak bunga kuning tua dan pangkal bunganya berwarna ungu
(Octaviana, 2010).
Perbungaan lateral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai 9 – 23 cm dan lebar 4-6 cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjang 8 – 13 mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4,5 cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1,25 – 2 cm dan lebar 1cm (Hapsoh dan Hasanah, 2011).
Tanaman temulawak menghasilkan rimpang temulawak yang bentuknya bulat seperti telur dengan arna kulit rimpang sewaktu masih muda maupun tua adalah kuning kotor. Warna daging rimpang adalah kuning dengan cita rasa pahit, berbau tajam dan keharumannya sedang (Octaviana, 2010).
Syarat Tumbuh
Iklim
Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan – lahan yang teduh dan terlindung dari teriknya sinar matahari. Di habitat alami rumpun tanaman ini tumbuh subur di  bawah naungan pohon bambu atau jati. Namun demikian temulawak juga dapat dengan mudah ditemukan di tempat yang terik seperti tanah tegalan. Secara umum tanaman ini memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai cuaca di daerah beriklim tropis. Suhu udara yang baik untuk budidaya tanaman ini antara 19 – 30oC. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan antara 1000 – 4000 mm/tahun (Hapsoh dan Hasanah, 2011).
Pengembangan temulawak di dataran tinggi  (800 m dpl) cenderung semakin tinggi kandungan xanthorrizolnya dan semakin rendah kandungan kurkuminoidnya. Sedangkan pengembangan temulawak di dataran rendah (200 m dpl) kandungan xanthorrizol semakin rendah dan semakin tinggi kandungan kurkuminoidnya (Rahardjo, 2010).
Temulawak dapat tumbuh pada ketinggian tempat 5 – 1000 m dpl dengan ketinggian tempat optimum adalah 750 m dpl. Kandungan pati tertinggi di dalam rimpang diperoleh pada tanaman yang ditanam pada ketinggian 240 m dpl. Temulawak yang ditanam di dataran tinggi menghasilkan rimpang yang hanya mengandung sedikit minyak atsiri. Tanaman ini lebih cocok dikembangkan di dataran sedang (Hapsoh dan Hasanah, 2011).
Tanah
Lokasi produksi merupakan salah satu faktor penentu terhadap keberhasilan produksi secara baik dan benar. Temulawak dapat tumbuh baik pada jenis tanah latosol, andosol, podsolik dan regosol yang mempunyai tekstur liat berpasir, gembur, subur banyak mengandung bahan organik, pH tanah 5,0 – 6,5 (Rahardjo, 2010).
Perakaran temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah baik tanah berkapur, berpasir, agak berpasir maupun tanah-tanah berat yang berliat. Namun demikian untuk memproduksi rimpang yang optimal diperlukan tanah yang subur, gembur dan berdrainase baik. Dengan demikian pemupukan anorganik dan organik diperlukan untuk memberi unsur hara yang cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap gembur. Tanah yang mengandung bahan organik diperlukan untuk menjaga agar tanah tidak mudah tergenang air (Warintek, 2009).


PEMBERIAN LARUTAN ATONIK DAN AUKSIN UNTUK MEMPERCEPAT PENUNASAN RIMPANG TEMULAWAK

Larutan Atonik

Pertunasan dapat dipicu dengan perangsang biologi dan beberapa teknik persemaian. Atonik adalah salah satu perangsang biologi sebagai biostimulan yang dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman, mempercepat pemulihan bagian tanaman yang terluka dan meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen. Atonik mengandung bahan aktif sodium mono nitroquaiacol 2- (CH3O)(C6H4OH) dan aromatic nitro compound. Nitro compound adalah komponen organik yang mengandung lebih dari satu gugus fungsi -NO2. Senyawa-senyawa tersebut diformulasikan dalam bentuk cairan dan sifatnya mudah larut dalam air. Aplikasi pada tanaman melalui daun akan mudah diabsorbsi oleh sel-sel. Atonik memiliki khasiat dapat memicu pertumbuhan benih, perakaran pertunasan dan meningkatkan pembuahan atau hasil tanaman (Weaver 1972).
Menurut Makin dan Roemantyo (1985a) bahwa perendaman rimpang temulawak dalam larutan atonik 2 mL/L selama 30 menit dan pemakaian plastik hitam sebagai penutup persemaian memberikan pengaruh baik terhadap tunas yang tumbuh, jumlah tunas yang terbentuk dan akar yang dihasilkan. Makin dan Rumantyo (1985b) melaporkan bahwa pemakaian media kompos pada persemaian dan perendaman rimpang pada larutan atonik 1 mL/L dan 2 mL/L selama setengah jam memberikan pengaruh pada kecepatan pertumbuhan tunas, banyaknya tunas yang terbentuk dan jumlah akar.

Auksin
Pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) pada stek (dalam penyetekan) bertujuan untuk mempertinggi prosentase stek dalam membentuk akar dan mempercepat proses inisiasi akar sedangkan untuk merangsang pembentukan akar, biasanya konsentrasi zat tumbuh yang digunakan relatif rendah, karena pemakaian dengan konsentrasi tinggi akan menghambat pemanjangan akar (Hidayat dan Rosita 1999), selanjutnya dinyatakan pula bahwa penggunaan ZPT adalah salah satu usaha dalam memacu pertumbuhan tanaman sehingga akan diperoleh peningkatkan hasil tanaman. Telah diketahui bahwa auksin, karbohidrat dan nitrogen yang dikandung dalam bahan tanaman merupakan bahan baku yang memungkinkan terbentuknya akar.
Beberapa ZPT yang mengandung senyawa auksin yang banyak dipakai untuk perakaran stek adalah Indole Acetic Acid (IAA), Indole Buteric Acid (IBA), dan Napthalene Acetic Acid (NAA) (Weaver 1972). Selanjutnya dikatakan bahwa ZPT yang paling baik digunakan untuk penyetekan adalah IBA, karena kandungan kimia yang lebih stabil, daya kerja yang lebih lama dan relatif lambat ditranslokasikan dalam tanaman sehingga respon akan lebih baik terhadap pertumbuhan akar. Pada NAA bersifat merangsang dalam pembentukan akar dengan stabilitas kimia yang lebih besar dan konsentrasi optimum, pemberian NAA yang sangat kecil kurang efektif dan tidak menguntungkan apalagi belum diketahui konsentrasi yang sebenarnya yang dibutuhkan oleh tanaman. Begitu pula IAA, bersifat mudah menyebar dan akan menghambat pertumbuhan tanaman sebelum waktunya, sehingga kurang efektif pemakaiannya.
Pengaruh Pemberian Larutan Atonik dan Auksin
Pada minggu pertama perlakuan kontrol berpengaruh pada jumlah rata-rata semua peubah yang lebih tinggi dibanding 3 perlakuan atonik lainnya, sedangkan penggunaan root-up menunjukan jumlah rata-rata rimpang bertunas dan total tunas yang lebih tinggi dari kontrol, dapat dilihat pada Tabel 1. Selanjutnya pada minggu kedua, tunas pada rimpang mulai berkembang menjadi daun. Pada perlakuan dengan atonik mulai berpengaruh dengan meningkatnya jumlah rimpang bertunas, total tunas dan total akar yang ditunjukkan bila dibandingkan dengan jumlah ratarata terjadi lebih tinggi dari kontrol. Sedangkan pada perlakuan dengan root-up tidak memberikan pengaruh peningkatan jumlah rimpang berakar dan total akar jika dibanding perlakuan kontrol, dapat dilihat pada Tabel 2.
Pada minggu ketiga, perlakuan kombinasi antara atonik (4 mL/L) dan root-up (10 g/L) menunjukan jumlah rimpang bertunas yang mendekati 100 % yaitu 7,5 dari 8 rimpang. Kombinasi perlakuan atonik (6 mL/L) dan root-up (10 g/L) menunjukan jumlah total tunas rata-rata yang tertinggi dan pada kombinasi perlakuan atonik (2 mL/L) dan root-up (0 g/L) menunjukan jumlah rata-rata total akar tertinggi. Meskipun demikian, ketiga kombinasi perlakuan tersebut menunjukkan pengaruh tidak nyata dan nilai ratarata masing-masing peubah mendekati nilai ratarata kontrol, 

Zat pengatur tumbuh (ZPT) dibuat agar tanaman memacu pembentukan fitohormon (hormon tumbuhan). Hormon mempunyai arti untuk merangsang, membangkitkan atau mendorong timbulnya suatu aktivitas biokimia. Dengan demikian fitohormon sebagai senyawa organik yang bekerja aktif dalam jumlah sedikit, ditransformasikan ke seluruh bagian tanaman sehinga dapat mempengaruhi pertumbuhan atau proses-proses fisiologi tanaman.
Menurut Schmidt (2000) salah satu klasifikasi dormansi berdasarkan pembentukannya yaitu dormansi sebagai respon terhadap lingkungan luar yang tidak mendukung. Pada tanaman temulawak, lingkungan yang kering menyebabkan rimpang temulawak mengalami dormansi dan akan pecah bila terkena air atau saat musim hujan tiba. Oleh karena itu, proses perendaman memberikan efek positif untuk perkecambahan dan penunasan rimpang temulawak. Rimpang temulawak yang direndam dalam air (perlakuan kontrol) menghasilkan jumlah rata-rata tunas yang tidak berbeda nyata, bahkan lebih tinggi bila dibanding dengan yang menggunakan larutan perangsang biologi dan hormon perakaran. Hasil tersebut menunjukan bahwa proses pertunasan rimpang dapat dibantu hanya dengan perendaman dalam air.
Menurut Weaver (1972) salah satu fase dormansi adalah trigger, yaitu ketika benih (dalam kasus ini rimpang) dalam keadaan sensitif terhadap isyarat lingkungan. Pada fase ini faktor penghambat dan pendorong pertunasan dalam keadaan seimbang. Hormon adalah salah satu agent pendorong terjadinya petunasan (germination agent) yang mekanismenya sangat ditentukan oleh tipe hormon dan konsentrasi yang digunakan. Schmidt 2000) menyatakan bahwa beberapa komponen kimia berinteraksi dengan mekanisme fisiologi dari beberapa tipe dormansi dan dapat menstimulasi proses metabolik selama perkecambahan/pertunasan. Dari hasil percobaan menunjukkan hormon yang digunakan, perangsang biologi (atonik) dan auksin (dalam bentuk root-up), belum berpengaruh secara signifikan dalam mendorong pertunasan dan perakaran rimpang dibandingkan dengan kontrol. Hal ini dimungkinkan karena jenis hormon yang digunakan dalam penggunaan konsentrasinya belum tepat sasaran, selain itu dapat juga disebabkan oleh kondisi lingkungan persemaian yang kurang mendukung, diantaranya temperatur dan media semai.



 KESIMPULAN
1.      perendaman dalam air (perlakuan kontrol) dapat membantu pemecahan dormansi rimpang temulawak.
2.      Penambahan perangsang biologi dan auksin dalam larutan belum menunjukan pengaruh yang lebih baik untuk memecahkan dormansi rimpang dan stimulasi perakaran tunas temulawak

















DAFTAR PUSTAKA

Djamhari, S. 2010. Memecah Dormansi Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorriza R.) Menggunakan Larutan Atonik Dan Stimulasi Perakaran Dengan Aplikasi Auksin. Jurnal Sains Dan Teknologi Indonesia 12 (1): 66-70.

Fanesa, 2011. Pengaruh Proses Pengeringan RimpangTemulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb) Terhadap Kandungan Dan KomposisiKurkuminoid. Reaktor, 13 (3) : 165-169.

Hapsoh Dan Hasanah, 2011. Metode Perancangan Percobaan. Untuk Ilmu Pertanian, Ilmu-ilmu Teknik dan Biologi. Armico, Bandung.

Octaviana, 2010. Prima Riska Oktaviana Kajian Kadar Kurkuminoid, Total Fenol Dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Pada Berbagai Teknik Pengeringan Dan ProporsiPelarutan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.Semarang.

Rajiman, 2009. Analisis kandungan kimia rimpang temulawak, temu teknis nasional  tenaga fungsional pertanian. Bogor (ID) : Departemen Pertanian.
Rismunandar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Sinar Baru. Bandung.

Rosidi Mulyono MW, Muhtadi A. 2011. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Jakarta (ID) : Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica.

Trisna Dkk., 2013. Pengaruh waktu, suhu, dan nisbah pelarut pada ekstraksi kurkumin dari temulawakdengan pelarut Aseton [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Warintek, 2009. Pengaruh waktu, suhu, dan nisbah pelarut pada ekstraksi kurkumin dari  temulawak dengan pelarut etanol [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Zahro, Laely dan Cahyono, Bambang dan Hastuti, Rini Budi. 2009. Profil Tampilan Fisik dan Kandungan Kurkuminoid dari Simplisia Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) pada Beberapa Metode Pengeringan. Jurnal Sains dan Matematika 17 (1) 24-32.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar